Kamis, 25 Februari 2010

SILOGISME KATEGORIAL

MEMAHAMI POLA PENALARAN
Penalaran merupakan suatu corak atau cara seseorang mengunakan nalarnya dalam menarik kesimpulan sebelum akhirnya orang tersebut berpendapat dan dikemukakannya kepada orang lain.
Pola penalaran secara sederhana dibedakan menjadi dua: 1) deduktif; dan 2) induktif. Pola penalaran deduktif menggunakan bentuk bernalar deduksi. Deduksi secara etimologis berasal dari kata de dan ducere, yang berarti proses penyimpulan pengetahuan khusus dari pengetahuan yang lebih umum / universal. Perihal khusus tersebut secara implisit terkandung dalam yang lebih umum. Maka, deduksi merupakan proses berpikir dari pengetahuan universal ke singular atau individual.
Dalam konteks demikian terdapat prinsip, hukum, teori, atau putusan lain yang berlaku umum suatu suatu hal, peristiwa, atau gejala. Perhatikan contoh berikut :

1. Semua siswa-siswi kelas XII IPA SMA Gila Nama memperoleh predikat lulus100 % dan memuaskan serta menduduki peringkat empat besar dalam Ujian Nasional tahun lalu. Tetanggaku, Kenthus yang agak nyeleneh itu, siswa kelas XII IPA di sekolah itu. Maka, pastilah si Kenthus lulus dengan predikat memuaskan serta baik nilainya.

2. Semua warga RT 5 / RW 3 Kampung Getah Basah yang ikut memeriahkan peringatan HUT ke-61 Republik Indonesia dengan mengikuti berbagai acara yang diselenggarakan berarti memiliki sikap nasionalisme yang baik. Pamanku si gendut lagi pula warga kampung itu juga ikut memeriahkan peringatan HUT ke-61 Republik Indonesia dengan mengikuti berbagai acara yang diselenggarakan. Pasti, pamanku itu sikap nasionalismenya baik.

Apabila kita cermati, kedua contoh di atas menggunakan pola penalaran deduktif, yaitu pola penalaran yang berdasar dari pernyataan yang bersifat umum kemudian mengkhusus. Tipe penalaran seperti ini bermula dari suatu peryataan yang berlaku untuk semua anggota populasi dari suatu komunitas. Berdasarkan hal ini ditariklah kesimpulan yang mengenai salah satu individu anggota komunitas itu.
Jika menggunakan penalaran seperti ini, tidak mungkinkah kita terjebak dalam suatu pola penyamarataan dengan generalisasi atau apriori? Dalam konteks demikian, lebih baik bila kita memadukan pola deduktif dan induktif, terutama kaitannya dengan kehidupan sehari-hari untuk menghindarkan diri dari kesalahan nalar yang bisa berakibat fatal bagi kita. Kemahiran memadukan kedua tipe penalaran ini membawa kita ke arah penalaran yang analistis, kritis, dan intuitif tajam. Apalagi bila hal tersebut bertumpu pada kelengkapan dan akurasi data, fakta, evidensi, dan bukti yang akan memperlihatkan kesahihan dan kecerdasan berpikir.

Silogisme sebagai Bentuk Hasil Penalaran Deduktif

Silogisme merupakan suatu proses penarikan kesimpulan yang didasarkan atas pernyataan-pernyataan ( proposisi yang kemudian disebut premis ) sebagai antesedens ( pengetahuan yang sudah dipahami ) hingga akhirnya membentuk suatu kesimpulan ( keputusan baru ) sebagai konklusi atau konsekuensi logis. Keputusan baru tersebut selalu berkaitan dengan proposisi yang digunakan sebagai dasar atau dikemukakan sebelumnya. Oleh karena hal tersebut, perlu dipahami hal-hal teknis berkaitan dengan silogisme sehingga penalaran kita benar dan dapat diterima nalar.

Sehubungan dengan hal tersebut perlu diperhatikan konsep-konsep berikut ini :

1. Pernyataan pertama dalam silogisme disebut premis mayor, sedangkan pernyatan kedua disebut premis minor.
2. Dalam silogisme hanya terdapat tiga term ( batasan ), yaitu term I : predikat dalam premis mayor ( B ), term II : predikat dalam premis minor ( C ), dan term III / antara, yaitu term yang menghubungkan antara premis mayor dan premis minor ( A ).
3. Dalam sebuah silogisme hanya ada tiga proposisi, yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.
4. Bila kedua premis negatif, tidak dapat ditarik kesimpulan.
5. Bila salah satu premisnya negatif, tidak dapat ditarik kesimpulan yang sahih.
6. Bila salah satu premis partikular, kesimpulan tidak sahih.
7. Kedua premis tidak boleh partikular.
8. Rumus:
PM (premis mayor) : A = B
Pm (premis minor) : C = A
Kesimpulan : C = B

Macam-Macam Silogisme

Silogisme dapat dibedakan menjadi tiga: 1) silogisme kategorial; 2) silogisme hipotetis; dan 3) silogisme alternatif. Namun, bisa juga dibedakan menjadi dua yang lain: 1) silogisme kategorial; dan 2) silogisme tersusun. Perhatikan pembahasan berikut!

1. Silogisme Kategorial

Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.

Semua mamalia binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya. Kerbau termasuk mamalia. Jadi, kerbau : binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya.

Yang perlu dicermati adalah, bahwa pola penalaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita tidak demikian nampak, entah di realita pembicaraan sehari-hari, lewat surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam menyimak atau mendengarkan atau menerima pendapat seseorang, kita perlu berpikir kritis melihat dasar-dasar pemikiran yang digunakan sehingga kita dapat menilai seberapa tingkat kualitas kesahihan pendapat itu.
Dalam hal seperti ini kita perlu mnenentukan: 1) kesimpulan apa yang disampaikan; 2) mencari dasar-dasar atau alasan yang dikemukakan sebagai premis-premisnya; dan 3) menyusun ulang silogisme yang digunakannya; kemudian melihat kesahihannya berdasarkan ketentuan hukum silogisme.
Berdasarkan hal tersebut tentu saja kita akan mampu melihat setiap argumen, pendapat, alasan, atau gagasan yang kita baca atau dengar. Dengan demikian, secara kritis kita mengembangkan sikap berpikir ke arah yang cerdik, pintar, arif, dan tidak menerima begitu saja kebenaran / opini yang dikemukakan pihak lain. Berdasarkan hal inilah akhirnya kita mampu menerima, meluruskan, menyanggah, atau menolak suatu pendapat yang kita terima.

2. Silogisme Tersusun

Dalam praktik kehidupan sehari-hari bentuk dilogisme di atas ( kategorial ) sering tidak diikuti sebagaimana mestinya, melainkan diambil jalan pintas demi lancar dan cepatnya komunikasi antar pihak. Berikut ini bentuk-bentuk yang dimaksud, yang sebenarnya merupakan perluasan atau penyingkatan silogisme kategorial. Silogisme ini dapat dibedakan dalam tiga golongan: 1) epikherema; 2) entimem; dan 3) sorites.

2.1 Epikherema

Epikherema merupakan jabaran dari silogisme kategorial yang diperluas dengan jalan memperluas salah satu premisnya atau keduanya. Cara yang biasa digunakan adalah dengan menambahkan keterangan sebab: penjelasan sebab terjadinya, keterangan waktu, maupun poembuktian keberadaannya. Perhatikan contoh berikut:

 Semua pahlawan bersifat mulia sebab mereka selalu memperjuangkan hak miliki bersama dengan menomorduakan kepentingan pribadinya. Sultan Mahmud Badaruddin adalah pahlawan. Jadi, Sultan Mahmud Badaruddin itu mulia.
 Semua orang nasionalis adalah pejuang sebab mereka senantiasa bekerja tanpa kehendak serta tidak menghalalkan segala cara. Di dalamnya, setiap kegiatan dan keterlibatan mereka yakini bahwa Tuhan juga terlibat. Itulah sebabnya mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan , keadilan, kebersamaan, dan keberbedaan. Bung Tomo adalah seorang nasionalis. Maka, ia seorang pejuang sejati.

Dari kedua contoh di atas terlihat bahwa ada bagian (premis) tertentu yang diperluas dengan menambahkan keterangan, alasan, bukti, dan penjelasan sebagai pelengkap premis mayor. Pola silogistisnya tetap. Hanya saja jumlah keterangan atau atribut yang memperkuat tak terbatas, asalkan memperkuat, mempertegas, dan memperjelas premisnya.
Semua siswa yang rajin belajar dengan teratur, tekun, terencana, dan mempeunyai sistem manajemen yang baik tentu akan berhasil dalam hidupnya di masa depan. Dalam klasifikasi seperti ini, mereka senantiasa mempersiapkan diri demi memahami dan mengerti ilmu yang dipelajarainya, tidak mesti harus menunggu belajar karena ada ulangan. Belajar, bagi mereka, bukan sebatas tahu dan hafal, bukan untuk memperoleh angka yang dicapai dalam ulangan. Mereka belajar secara rutin sebagai bentuk tanggung jawabnya menjawab tantangan masa depan dengan jalan memiliki jadwal pribadi yang tersusun tanpa paksaan dari siapa pun. Mereka belajar sampai tahap menganalisis urgensitas bidang studi, baik untuk hidup sekarang maupun yang akan datrang.
Bagi mereka tiada hari tanpa belajar, tiada hari tanpa prestasi, dan dijadikannya sebagai pegangan hidup. Ardi adalah siswa yang selalu belajar dengan tekun, teratur, rapi, dan terencana. Maka, tentulah masa depan hidupnya pasti baik.

2.2 Entimem

Entimem merupakan bentuk singkat silogisme dengan jalan mengubah format yang disederhanakan, tanpa menampilkan premis mayor. Bentuk silogisme ini bisa dimunculkan dalam dua cara: 1) C=B karena C=A, dan 2) Karena C=A, berarti C=B. Bentuk penalaran ini bisa dikembangkan dalam format yang lebih detail bagian per bagian yang akan memperbanyak gagasan dan konsep. Hubungan logis memegang peran utama dalam penalaran tipe ini. Pada umumnya entimem dimulai dari kesimpulan, hanya saja ada alternatif mengemukakan sebab untuk sampai kepada kesimpulan.

Contoh:

1. Imey memang siswa yang amat baik masa depannya sebab ia bersekolah di SMA Bina Kerangka.
2. Orang itu pasti jagoan. Bukankah ia berasal dari Hollywood?
3. Temanku sebangku itu amat pintar. Ia memang dilahirkan dalam shio macan.

Bila kita cermati, ketiga contoh tersebut dapat dilacak rangkaian silogismenya. Setelah mengembalikan rangkaian silogismenya, kita lihat validitas-validitas premis, terutama premis mayor sebagai dasar bernalar, serta akurasi premis minornya, untuk menarik kesimpulan.

2.3 Sorites

Silogisme tipe ini sangat cocok untuk bentuk-bentuk tulisan atau pembicaraan yang bernuansa persuasif. Silogisme tipe ini didukung oleh lebih dari tiga premis, bergantung pada topik yang dikemukakan serta arah pembahasan yang dihubung-hubungkan demikian rupa sehingga predikat premis pertama menjadi subyek premis kedua, predikat premis kedua menjadi subyek pada premis ketiga, predikat premis kedua menjadi subyek pada premis keempat, dan seterusnya, hingga akhirnya sampailah pada kesimpulan yang diambil dari subyek premis pertama dan predikat premis terakhir.

Pola yang digunakan sebagai berikut:

S 1…………………………………………P 1

S2 …………………………………………P2

S3……………………….…………………P3, dst.


Kesimpulan: S1 ……………………………P3





ASAS PENALARAN DALAM KARANGAN
Aspek Penalaran Dalam Karangan

1. Menulis sebagai hasil proses bernalar.

Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa merupakan hasil proses berpikir kita tentang sesuatu . Hal ini dapat kita mengerti tatkala kita akan mengemukakan pendapat kepada orang lain, misalnya saat berbicara, pikiran kita berkonsentrasi, berproses, kemudian menggunakan media bahasa lisan untuk mengemukakan gagasan. Hal ini pun juga terjadi tatkala kita menulis suatu topik. Untuk menulis suatu topik kita harus berpikir, menghubung-hubungkan berbagai fakta, membandingkan, mempertentangkan, mencari faktor penyebab dan akibatnya, dan lain-lain.
Dalam keseharian hidup kita pun saat dalam kondisi sadar dan terjaga, kita senantiasa berpikir. Berpikir memang merupakan kegiatan mental kehidupan manusia. Saat itu pulalah timbul serangkaian fakta hasil pengalaman, pengamatan, percobaan, penelitian, dan referensi dalam urutan yang saling berhubungan serta bertujuan menarik kesimpulan yang terwujud dalam pendapat. Jenis berpikir seperti ini sudah merupakan kegiatan bernalar. Dan proses bernalar merupakan kinerja berpikir yang sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa pendapat atau gagasan. Kegiatan ini bisa bersifat ilmiah atau tidak ilmiah.
Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan sebagai penalaran induktif dan deduktif. Penalaran ilmiah mencakup kedua poroses penalaran tersebut.

2. Penalaran induktif.

Penalaran induktif adalah proses berpikir untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Prosesnya disebut induksi.
Penalaran induktif dapat berbentuk generalisasi, analogi, atau hubungan sebab akibat. Generalisasi adalah proses berpikir berdasarkan hasil pengamatan atas sejumlah gejala dan fakta dengan sifat-sifat tertentu mengenai semua atau sebagian dari gejala serupa itu. Analogi merupakan cara menarik kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan terhadap sejumlah gejala khusus yang bersamaan. Hubungan sebab akibat ialah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab akibat, akibat sebab, dan akibat-akibat.

3. Penalaram deduktif.

Penalaran deduktif adalah cara berpikir dengan berdasarkan suatu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Pernyataan tersebut merupakan premis, sedangkan kesimpulan merupakan implikasi pernyataan dasar tersebut. Artinya, apa yang dikemukakan dalam kesimpulan sudah tersirat dalam premisnya. Jadi, proses deduksi sebenarnya tidak menghasilkan suatu konsep baru, melainkan pernyataan / kesimpulan yang muncul sebagai konsistensi premis-premisnya.

4. Penalaran dalam karangan.

Dalam praktek, proses penalaran tidak dapat terpisahkan dengan proses pemikiran. Tulisan merupakan perwujudan hasil kinerja proses berpikir. Tulisan yang baik, sistematis, dan logis mencerminkan proses berpikir yang baik juga. Begitu juga sebaliknya, tulisan yang kacau mencerminkan proses dan kinerja berpikir yang kacau pula. Karena itu pelatihan keterampilan menulis pada hakekatnya merupakan hal pembiasaan berpikir / bernalar secara tertib dalam bahasa yang tertib pula.
Suatu karya tulis merupakan hasil proses berpikir yang mungkin merupakan hasil deduksi, induksi, atau gabungan di antara keduanya. Suatu tulisan yang bersifat deduktif dibuka dengan suatu pernyataan umum berupa kaidah, teori, peraturan, atau pernyataan lainnya. Selanjutnya pernyataan tersebut dikembangkan dengan pernyataan-pernyataan atau rincian-rincian khusus. Sebaliknya, suatu karya tulis yang induktif dibuka dengan rincian-rincian khusus dan diakhiri dengan suatu kesimpulan umum atau generalisasi. Gabungan antara keduanya dimulai dengan pernyataan umum, diikuti dengan rincian-rincian dan diakhiri dengan pengulangan pernyataan umum yang dikemukakan sebelumnya.
Secara praktis, proses penalaran deduktif dan induktif dikembangkan dalam bentuk paragraf. Yang perlu diperhatikan adalah arah atau alur penalaran dan cara pewujudannya dalam karya tulis. Hal tersebut sangat berhubungan dengan urutan pengembangkan dan isi karangan.
Pola pengembangan gagasan dapat dilakukan dengan : 1) urutan kronologis; 2) urutan spasial; 3) urutan alur penalaran.; dan 4) urutan kepentingan.

Urutan kronologis ditandai dengan penggunaan kata-kata seperti dewasa ini, sekarang, bila, sebelum, sementara itu, sejak saat itu, selanjutnya, dalam pada itu, mula-mula. Bentuk tulisan ini biasanya dipergunakan untuk memaparkan sejarah, proses, asal-usul, dan biografi / riwayat hidup.

Urutan spasial digunakan untuk menyatakan tempat atau hubungan dengan ruang, Biasanya dipakai dengan urutan waktu. Pola ini biasanya menggunakan kata-kata di sini, di situ, di, pada, di bawah, di atas, di tengah, berhadapan, bertolak belakang, berseberangan, dan lain-lain.

Urutan penalaran menghasilkan paragraf deduktif dan induktif. Sedangkan urutan kepentingan dikembangkan berdasarkan skala prioritas gagasan yang dikemukakan., dari yang paling penting, menuju yang penting, ke yang kurang penting.

Rabu, 24 Februari 2010

PENALARAN DEDUKTIF

Suatu penelitian pada hakekatnya dimulai dari hasrat keingintahuan manusia, merupakan anugerah Allah SWT, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang memerlukan jawaban atau pemecahannya, sehingga akan diperoleh pengetahuan baru yang dianggap benar. Pengetahuan baru yang benar tersebut merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh akal sehat dan berdasarkan fakta empirik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah.
Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif.
Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Kedua penalaran tersebut di atas (penalaran deduktif dan induktif), seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang disebut dengan reflective thinking atau berpikir refleksi. Proses berpikir refleksi ini diperkenalkan oleh John Dewey (Burhan Bungis: 2005; 19-20), yaitu dengan langkah-langkah atau tahap-tahap sebagai berikut :
• The Felt Need, yaitu adanya suatu kebutuhan. Seorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaannya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
• The Problem, yaitu menetapkan masalah. Kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need di atas, selanjutnya diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan atau kebutuhan tersebut, yaitu apa sebenarnya yang sedang dialaminya, bagaimana bentuknya serta bagaimana pemecahannya.
• The Hypothesis, yaitu menyusun hipotesis. Pengalaman-pengalaman seseorang berguna untuk mencoba melakukan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Paling tidak percobaan untuk memecahkan masalah mulai dilakukan sesuai dengan pengalaman yang relevan. Namun pada tahap ini kemampuan seseorang hanya sampai pada jawaban sementara terhadap pemecahan masalah tersebut, karena itu ia hanya mampu berteori dan berhipotesis.
• Collection of Data as Avidance, yaitu merekam data untuk pembuktian. Tak cukup memecahkan masalah hanya dengan pengalaman atau dengan cara berteori menggunakan teori-teori, hukum-hukum yang ada. Permasalahan manusia dari waktu ke waktu telah berkembang dari sederhana menjadi sangat kompleks, kompleks gejala maupun penyebabnya. Karena itu pendekatan hipotesis dianggap tidak memadai, rasionalitas jawaban pada hipotesis mulai dipertanyakan. Masyarakat kemudian tidak puas dengan pengalaman-pengalaman orang lain, juga tidak puas dengan hukum-hukum dan teori-teori yang juga dibuat orang sebelumnya. Salah satu alternatif adalah membuktikan sendiri hipotesis yang dibuatnya itu. Ini berarti orang harus merekam data di lapangan dan mengujinya sendiri. Kemudian data-data itu dihubung-hubungkan satu dengan lainnya untuk menemukan kaitan satu sama lain, kegiatan ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis tersebut dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis, yaitu hipotesis yang dirumuskan tadi.
• Concluding Belief, yaitu membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya, maka dibuatlah sebuah kesimpulan, dimana kesimpulan itu diyakini mengandung kebenaran.
• General Value of The Conclusion, yaitu memformulasikan kesimpulan secara umum. Konstruksi dan isi kesimpulan pengujian hipotesis di atas, tidak saja berwujud teori, konsep dan metode yang hanya berlaku pada kasus tertentu ( maksudnya : kasus yang telah diuji hipotesisnya ), tetapi juga kesimpulan dapat berlaku umum terhadap kasus yang lain di tempat lain dengan kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan tersebut untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Proses maupun hasil berpikir refleksi di atas, kemudian menjadi popular pada berbagai proses ilmiah atau proses ilmu pengetahuan. Kemudian, tahapan-tahapan dalam berpikir refleksi ini dipatuhi secara ketat dan menjadi persyaratan dalam menentukan bobot ilmiah dari proses tersebut. Apabila salah satu dari langkah-langkah itu dilupakan atau dengan sengaja diabaikan, maka sebesar itu pula nilai ilmiah telah dilupakan dalam proses berpikir ini.