Senin, 11 Oktober 2010

Tugas Etika Bisnis

Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis

Dosen : Bpk. Suprio Hartadi.

1. 1. Komentar Kasus Hukum

Dalam kasus ini , Perusahaan X tetap melanggar hokum yaitu UU No.13/2003. Ketenagakerjaan Tentang aturan PHK dan masalah pesangon. Jika perusahaan itu pailit hal tersebut pun harus diputuskan di peradilan , sampai keluar surat dari pengadilan dan membicarakan masalah pemutusan karyawan dengan cara Tri-Partiet, dengan perantara dari DISOSNAKER / Perwakilan dari Departemen Ketenagakerjaan.

Yang berikutnya, Perusahaan tersebut juga melanggar prinsip kepatuhan hukum dan etika bisnis , Jika perusahaan tersebut telah mengangkat karyawan tersebut menjadi karyawan tetap, maka konsekwensi kewajiban perusahaan tetap harus di penuhi jika terjadi pemutusan hubungan kerja, maka solusi dari UU No.13 / 2003 untuk pengusaha yaitu adanya outsorcing dari sebagian karyawannya yang jika terjadi pemutusan hubungan kerja maka pengusaha tidak wajib memberikan pesangon pada karyawan outsorcing tersebut.

2. 2. Komentar Kasus Akuntabilitas

Dalam kasus ini, kesalahan dari pihak rumah sakit yang mempunyai aturan perusahaan tentang kepegawaian tidak di sosialisasikan dengan baik kepada karyawannya, seperti pengumuman, surat edaran atau memberikan buku saku KKB ( Kesepakatan kerja Bersama ) sehingga karyawan mwngetahui aturan perusahaan yang telah dibuat dan disepakati oleh karyawan.

Untuk karyawan jika mengundurkan diri tanpa pemberitahuan ke perusahaan tempat dia bekerja, maka diapun telah melanggar etika bisnis, yang seharusnya karyawan tersebut tetap membuat surat pengunduran diri secara resmi, agar proses dalam bekerja di perusahaan tersebut pun tidak terganggu.

Jadi dalam hal tersebut komunikasi dua arah antara karyawan dan perusahaan bisa berjalan dan terjalin dengan baik sehingga kelancaran dan keharmonisan hubungan kerja dapat berjalan dengan baik pula.

3. 3. Komentar Kasus Pelayanan Publik

Dalam kasus PLN tentang kekurangan suplay energy sehingga merugikan banyak pihak dari masyarakat umum ataupun dunia usaha yang sangat berdampak luas, hal ini pun seharusnya ditanggapi secara arif dan disikapi secara professional oleh PLN atau pemerintah

a. Menyikapi secara arif :

Dalam hal ini PLN / Pemerintah berkewajiban untuk meminta maaf kepada masyarakat dan Dunia usaha, sehingga dalam melayani secara umum belum bias memuaskan konsumenya, terutama kepada dunia usaha yang berakibat buruk pada produktifitas dan kerugian-kerugian yang tidak kecil dari para pengusaha.

b. Menyikapi secara professional :

Dalam hal ini selayaknya dan seharusnya menjadwalkan pemadaman dengan cara yang baik dan terprogram sehingga ada pemberitahuan resmi lewat masmedia, atau surat resmi ke wilayah yang akan dipadamkan sehingga ada priper yang bias dilakukan baik oleh masyarakat maupun dunia usaha

Jangan melakukan dengan cara sepihak seolah-olah hak masyarakat tidak dihargai samasekali, contoh kasus para pelanggan umum maupun dunia usaha yang telat melakukan pembayaran langsung terkena hukuman denda atau bahkan pemutusan aliran listrik tanpa melakukan dialok oleh konsumen tersebut. Hal-hal tersebut sebaiknya cepat dibenahi agar kwalitas atau mutu pelayanan bisa berjalan dengan baik bagi penggunanya.

Penulis By : Aris Teguh Budimanto

4EA14 NPM : 10207167

Minggu, 10 Oktober 2010

Tugas Etika Bisnis ke 2

Etika Bisnis Islam

Oleh: Aris Teguh Budimanto NPM : 10207167 4EA14.

Pendahuluan

“Ku kira coklat, nggak taunya broklat, perutku jadi kacau berat, nggak! nggak

momo lagi”. Demikian sebuah pernyataan yang diperankan oleh seorang anak bertubuh

tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya” produksi Garuda

Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi nasional. Sekilas iklan tersebut

biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan yang menyerang pesaingnya bernama

”Momogi” kudapan buatan perusahaan lain. Dilain pihak beberapa iklan di televisi

menampilkan produk toiletris seperti sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara

sengaja mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disuguhkan oleh iklan obat

sekali minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu.

Tayangan sinetron di televisi nasional juga tidak lepas dari kritik penonton , demi rating

sebagian besar televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan, mistik, horor, dan

menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan merupakan kondisi riil

masyarakat kita. Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang

atau organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara

menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan kebohongan publik. Apakah

bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi profesi kotor? Kalau profesi

kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak orang yang menekuninya bahkan bangga

dengan itu? Lalu kalau ini profesi kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang

didominasi oleh kegiatan bisnis ini (Sony Keraf:2000).

Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut

mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain faktor organisatoris

manajerial, ilmiah teknologis, dan politik-sosial-kultural, Kompleksitas bisnis itu kegiatan

sosial, bisnis dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial,

bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua

faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan dianalisis

melalui pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen (K. Bertens:

2000)

Etika bisnis

Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau

justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah

pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan

khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi

etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan

fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini

secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk

mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.

Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia

bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan

manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan

bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk

membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang

dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat

tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007)

Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan

keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari

atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau

moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat

mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke

arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan

secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah

laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus

hartman:1998)

Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi

kelangsungan bisnis merupakan alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku

tidak etis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara

moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral

keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.

Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia

menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang

produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya

memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah

tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan

(expansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.

Dalam mitos bisnis amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan

pertempuran. Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan

sasaran akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara

konstan. Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan

dalam bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan

dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika

bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan?

Dalam mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang

profesional di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang

kebanyakan, ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata

kinerja pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek

bisnis, manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis.

Kinerja yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral,

integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan

mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan

(stakeholders), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam

sebuah perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam

melakukan praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra,

merupakan contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis.

Dalam teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah

Hypernorms yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik &

kesejahteraan, partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta,

hak-hak untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia.

Kedua, Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan

moral, persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan

hypernorms, prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai

landasan dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi,

menghormati semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi

penduduk lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat

kerja yang aman (David J. Frizsche: 1997)

Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari

kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai

didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk

melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam

tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam

bisnis mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi

dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan

sepanjang perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para

pelanggan tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada

setiap pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan

berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang

berhasil dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan

atas mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)

Etika Bisnis Islami

Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980

an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan

agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai

terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap

sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika

Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak

kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian

besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang

menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.

Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap

perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang,

dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al

Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang

mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan

dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat

strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat

pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di

dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru

mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai

tanggungjawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.

Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi

diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.

Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis

Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya,

dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak

mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis

yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran

(QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha

senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena

sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan

mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam

menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya

dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur

yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat

dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak

ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada

agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah

(tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”

(Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka

kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan,

mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi

orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).

Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal

apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman,

penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu

pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan

orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga

perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia

khianat” (Hadits).

Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah

1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus

komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang

pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang

diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu

melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak

halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau

semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe

tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak,

suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al

Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.

2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba

yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS:

Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis

yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar

kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk

dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi

adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 –

35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan

berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat

tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta

dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).

3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam

Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian

kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair

Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka

dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang

yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh

penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai

cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk

memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar.

Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan

harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka

kelak di hari kiamat”.

4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat

menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan

percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran

ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda

”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.

Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang

dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang

dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut

dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan

oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang

artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak

mengkonsumsinya.

b) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan

di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor,

atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.

c) Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun

produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya

dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang

menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk

mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan

pembelian terhadap produk mereka.

Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam

sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak

dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus

dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan

rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan

derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara

menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.

Etika Pemasaran

Dalam konteks etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam

Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan

horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah

menyebutkan ”Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi

petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”. Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman

dalam etika marketing:

1. Allah memberi jaminan terhadap kebenaran Al-Qur’an, sebagai reability product

guarantee.

2. Allah menjelaskan manfaat Al-Qur’an sebagai produk karyaNya, yakni menjadi hudan

(petunjuk).

3. Allah menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab suci

tersebut, yakni orang-orang yang bertakwa.

Isyarat diatas sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab

marketing merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan.

Mengambil petunjuk dari kalimat ”jaminan” yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka

dalam rangka penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang

kita miliki. Jaminan tersebut mencakup dua aspek:

􀂷 Aspek material, yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu penyajian.

􀂷 Aspek non material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan (Higienis), dan ke-Islaman

dalam penyajian.

Bahwa jaminan terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu

diberikan, disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta

ke-Halalan, ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang

kerja yang ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari ”jaminan”.

Urutan kedua yang dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini

dijadikan dasar dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan

penjelasan mengenai manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi

dijalankan. Adapun metode yang dapat digunakan petunjuk Allah: ”Beritahukanlah

kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar”.

(QS:Al-An’am;143). Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan

seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan,

data dan fakta. Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan

fakta sangat penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh dibanding

penjelasan. Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali

memperhatikan komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang

akan dibelinya.

Ketiga adalah penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki.

Dalam hal ini kita dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan

thoyyiban), yang akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat

kepada Allah, sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus

memenuhi tiga unsur :

􀂷 Materi yang halal

􀂷 Proses pengolahan yang bersih (Higienis)

􀂷 Penyajian yang Islami

Etika Marketing dapat dijabarkan dalam diagram berikut :

Sumber : Islamic Business Strategy for Entrepreneurship, Tim Multitama Communication, 2007

Perusahaan Menjual

Al-Qur’an Al-Hadits

Menjamin

Kriteria

Penggunaan

Konsumen Sehat, Cerdas, Muttaqin

Menjelaskan

Kegunaan

Produksi

Dalam proses pemasaran promosi merupakan bagian penting, promosi adalah upaya

menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Bagaimana seseorang sebaiknya

mempromosikan barang dagangannya? Selain sebagai Nabi Rasulullah memberikan teknik

sales promotion yang jitu kepada seorang pedagang. Dalam suatu kesempatan beliau

mendapati seseorang sedang menawarkan barang dagangannya. Dilihatnya ada yang

janggal pada diri orang tersebut. Beliau kemudian memberikan advis kepadanya :

”Rasulullah lewat di depan sesorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang

tersebut jangkung sedang baju yang ditawarkan pendek. Kemudian Rasululllah berkata;

”Duduklah! Sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah

mendatangkan rezeki.” (Hadits).

Dengan demikian promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik

minat calon pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan

produk dilakukan dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang

serasi yang serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya.

Memperhatikan hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang

harus diperhatikan bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain interior, letak

barang dan lain-lain.

Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya adalah

profesi yang terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor

syari’ah. Muamalah dalam bentuk apapun diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil

syar’i. Islam melarang seorang Muslim melakukan hal yang merugikan dan mengakibatkan

kerusakan bagi orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda :

”La dlaraara wala dliraara” (HR. Ibn Abbas).

Daftar Pustaka

Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan di Indonesia.

Fritzche David J, 1997, Business Ethics, A Global and Managerial Perspective, McGraw

Hill Companies, Inc.

Hadhiri Choiruddin SP, 1993. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press.

Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill

Tim Multitama Communication, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship,

Zikrul Media Intelektual.

K. Bertens, 2000. Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius.

Muhammad Dawabah Asyraf, 2005. The Moslem Entrepreneur, Kiat Sukses Pengusaha

Muslim, Zikrul Media Intelektual.

Stewart David, 1966, Business Ethic, McGraw Hill Companies, Inc.