Ejaan Yang Disempurnakan
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama telah ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia pada masa itu, Tun Hussien Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden No. 57, Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin (Rumi dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) bagi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Di Malaysia ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB).
Selanjutnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarluaskan buku panduan pemakaian berjudul "Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan".
Pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:
• 'tj' menjadi 'c' : tjutji → cuci
• 'dj' menjadi 'j' : djarak → jarak
• 'oe' menjadi 'u' : oemoem -> umum
• 'j' menjadi 'y' : sajang → sayang
• 'nj' menjadi 'ny' : njamuk → nyamuk
• 'sj' menjadi 'sy' : sjarat → syarat
• 'ch' menjadi 'kh' : achir → akhir
• awalan 'di-' dan kata depan 'di' dibedakan penulisannya. Kata depan 'di' pada contoh "di rumah", "di sawah", penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara 'di-' pada dibeli, dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Untuk penjelasan lanjutan tentang penulisan tanda baca, dapat dilihat pada Penulisan tanda baca sesuai EYD
Dari Ejaan van Ophuijsen Hingga EYD
1. Ejaan van Ophuijsen
Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.:
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.
2. Ejaan Soewandi
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
3. Ejaan Melindo
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.
4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sebagai berikut.
1. Perubahan Huruf
Ejaan Soewandi Ejaan yang Disempurnakan
dj djalan, djauh j jalan, jauh
j pajung, laju y payung, layu
nj njonja, bunji ny nyonya, bunyi
sj isjarat, masjarakat sy isyarat, masyarakat
tj tjukup, tjutji c cukup, cuci
ch tarich, achir kh tarikh, akhir
2. Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya.
f maaf, fakir
v valuta, universitas
z zeni, lezat
3. Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai
a : b = p : q
Sinar-X
4. Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.
di- (awalan) di (kata depan)
ditulis di kampus
dibakar di rumah
dilempar di jalan
dipikirkan di sini
ketua ke kampus
kekasih ke luar negeri
kehendak ke atas
5. Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.
anak-anak, berjalan-jalan, meloncat-loncat
Sumber: Cermat Berbahasa Indonesia, Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai
Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD dalam Bahasa Indonesia
Mon, 24/04/2006 - 11:32pm — godam64
Ejaan yang disempurnakan atau yang lebih dekenal dengan singkatan EYD adalah ejaan yang mulai resmi dipakai dan digunakan di Indonesia tanngal 16 agustus 1972. Ejaan ini masih tetap digunakan hingga saat ini. EYD adalah rangkaian aturan yang wajib digunakan dan ditaati dalam tulisan bahasa indonesia resmi. EYD mencakup penggunaan dalam 12 hal, yaitu penggunaan huruf besar (kapital), tanda koma, tanda titik, tanda seru, tanda hubung, tanda titik koma, tanda tanya, tanda petik, tanda titik dua, tanda kurung, tanda elipsis, dan tanda garis miring.
1. Penggunaan Huruf Besar atau Huruf Kapital
a. Huruf pertama kata ganti "Anda"
- Ke mana Anda mau pergi Bang Toyib?
- Saya sudah menyerahkan uang itu kepada Anda setahun yang lalu untuk dibelikan PS3.
b. Huruf pertama pada awal kalimat.
- Ayam kampus itu sudah ditertibkan oleh aparat pada malam jumat kliwon kemarin.
- Anak itu memang kurang ajar.
- Sinetron picisan itu sangat laku dan ditonton oleh jutaan pemirsanya sedunia.
c. Huruf pertama unsur nama orang
- Yusuf Bin Sanusi
- Albert Mangapin Sidabutar
- Slamet Warjoni Jaya Negara
d. Huruf pertama untuk penamaan geografi
- Bunderan Senayan
- Jalan Kramat Sentiong
- Sungai Ciliwung
e. Huruf pertama petikan langsung
- Pak kumis bertanya, "Siapa yang mencuri jambu klutuk di kebunku?"
- Si panjul menjawab, "Aku tidak Mencuri jambu klutuk, tetapi yang kucuri adalah jambu monyet".
- "Ngemeng aja lu", kata si Ucup kepada kawannya si Maskur.
f. Huruf pertama nama jabatan atau pangkat yang diikuti nama orang atau instansi.
- Camat Pesanggrahan
- Profesor Zainudin Zidane Aliudin
- Sekretaris Jendral Departemen Pendidikan Nasional
g. Huruf Pertama pada nama Negara, Pemerintahan, Lembaga Negara, juga Dokumen (kecuali kata dan).
- Mahkamah Internasional
- Republik Rakyat Cina
- Badan Pengembang Ekspor Nasional
EYD
A.Penulisan Huruf
1. Huruf kapital atau huruf besar
A. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
Misalnya:
Kami menggunakan barang produksi dalam negeri.
Siapa yang datang tadi malam?
Ayo, angkat tanganmu tinggi-tinggi!
B. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
Misalnya:
Adik bertanya, ”Kapan kita ke Taman Safari?”
Bapak menasihatkan, ”Jaga dirimu baik-baik, Nak!”
C. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan nama kitab suci, termasuk ganti untuk Tuhan.
Misalnya:
Allah, Yang Mahakuasa, Islam, Kristen, Alkitab, Quran, Weda, Injil.
Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hambanya.
Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri rahmat.
D.Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Misalnya:
Haji Agus Salim, Imam Syafii, Nabi Ibrahim, Raden Wijaya.
E..Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Presiden Yudhoyono, Mentri Pertanian, Gubernur Bali.
Profesor Supomo, Sekretaris Jendral Deplu.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Siapakah gubernur yang baru dilantik itu?
Kapten Amir telah naik pangkat menjadi mayor.
Keponakan saya bercita-cita menjadi presiden.
F. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
Misalnya:
Albar Maulana
Kemal Hayati
Muhammad Rahyan
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran.
Misalnya:
mesin diesel
10 watt
2 ampere
5 volt
G. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa-bangsa dan bahasa. Perlu diingat, posisi tengah kalimat, yang dituliskan dengan huruf kapital hanya huruf pertama nama bangsa, nama suku, dan nama bahasa; sedangkan huruf pertama kata bangsa, suku, dan bahasa ditulis dengan huruf kecil.
Penulisan yang salah:
Dalam hal ini Bangsa Indonesia yang ….
…. tempat bermukim Suku Melayu sejak ….
…. memakai Bahasa Spanyol sebagai ….
Penulisan yang benar:
Dalam hal ini bangsa Indonesia yang ….
…. tempat bermukim suku Melayu sejak ….
…. memakai bahasa Spanyol sebagai ….
Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan.
Misalnya:
keinggris-inggrisan
menjawakan bahasa Indonesia
H. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.
Misalnya:
tahun Saka
bulan November
hari Jumat
hari Natal
perang Dipenogoro
Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama.
Misalnya:
Ir. Soekarno dan Drs. Moehammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Perlombaan persenjataan nuklir membawa risiko pecahnya perang dunia.
I. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama khas dalam geografi.
Misalnya:
Salah Benar
teluk Jakarta Teluk Jakarta
gunung Semeru Gunung Semeru
danau Toba Danau Toba
selat Sunda Selat Sunda
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri.
Misalnya:
Jangan membuang sampah ke sungai.
Mereka mendaki gunung yang tinggi.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.
Misalnya:
garam inggris
gula jawa
soto madura
J. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, nama resmi badan/
lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Misalnya:
Departemen Pendidikan Nasional RI
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Undang-Undang Dasar 1945
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi lembaga pemerintah, ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Perhatikan penulisan berikut.
Dia menjadi pegawai di salah satu departemen.
Menurut undang-undang, perbuatan itu melanggar hukum.
K. Huruf kapital dipakai sebagai huruf kapital setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan/ lembaga.
Misalnya:
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
L. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) dalam penulisan nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, dalam, yang, untuK yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
Idrus menulis buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
Dia agen surat kabar Suara Pembaharuan.
Ia menulis makalah ”Fungsi Persuasif dalam Bahasa Iklan Media Elektronik”.
M. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti Bapak, Ibu, Saudara, Kakak, Adik, Paman, yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Misalnya:
”Kapan Bapak berangkat?” tanya Nining kepada Ibu.
Para ibu mengunjungi Ibu Febiola.
Surat Saudara sudah saya terima.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang dipakai dalam penyapaan.
Misalnya:
Kita semua harus menghormati bapak dan ibu kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
N. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
Misalnya:
Dr. : doktor
M.M. : magister manajemen
Jend. : jendral
Sdr. : saudara
O. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Misalnya:
Apakah kegemaran Anda?
Usulan Anda telah kami terima.
2.Huruf Miring
A. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
Misalnya:
majalah Prisma
tabloid Nova
Surat kabar Kompas
B. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
Misalnya:
Huruf pertama kata Allah ialah a
Dia bukan menipu, melainkan ditipu
Bab ini tidak membicarakan penulisan huruf kapital.
C. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata ilmiah atau ungkapan asing, kecuali yang sudah disesuaikan ejaannya.
Misalnya:
Nama ilmiah padi ialah Oriza sativa.
Politik devide et impera pernah merajalela di benua hitam itu.
Akan tetapi, perhatikan penulisan berikut.
Negara itu telah mengalami beberapa kudeta (dari coup d’etat)
B. Penulisan Kata
1. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya:
Kantor pos sangat ramai.
Buku itu sudah saya baca.
Adik naik sepeda baru
(ketiga kalimat ini dibangun dengan gabungan kata dasar)
1. Kata Turunan
A. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasarnya.
Misalnya:
berbagai ketetapan sentuhan
gemetar mempertanyakan terhapus
B. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan, atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya.
Misalnya:
diberi tahu, beri tahukan
bertanda tangan, tanda tangani
berlipat ganda, lipat gandakan
C. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya:
memberitahukan
ditandatangani
melipatgandakan
1. Bentuk Ulang
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.
Misalnya:
anak-anak, buku-buku, berjalan-jalan, dibesar-besarkan, gerak-gerik, huru-hara, lauk-pauk,
mondar-mandir, porak-poranda, biri-biri, kupu-kupu, laba-laba.
1. Gabungan Kata
A. Gabungan kata yang lazim disebutkan kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah.
Misalnya:
duta besar, kerja sama, kereta api cepat luar biasa, meja tulis, orang tua, rumah sakit, terima kasih, mata kuliah.
B. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan salah pengertian dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian unsur yang berkaitan.
Misalnya:
alat pandang-dengar (audio-visual), anak-istri saya (keluarga), buku sejarah-baru (sejarahnya yang baru), ibu-bapak (orang tua), orang-tua muda (ayat ibu muda) kaki-tangan penguasa (alat penguasa)
C. Gabungan kata berikut ditulis serangkai karena hubungannya sudah sangat padu sehingga tidak dirasakan lagi sebagai dua kata.
Misalnya:
acapkali, apabila, bagaimana, barangkali, beasiswa, belasungkawa, bumiputra, daripada, darmabakti, halal-bihalal, kacamata, kilometer, manakala, matahari, olahraga, radioaktif, saputangan.
D. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya:
adibusana, antarkota, biokimia, caturtunggal, dasawarsa, inkonvensional, kosponsor,
mahasiswa, mancanegara, multilateral, narapidana, nonkolesterol, neokolonialisme, paripurna,
prasangka, purna-wirawan, swadaya, telepon, transmigrasi.
Jika bentuk terikan diikuti oleh kata yang huruf awalnya kapital, di antara kedua unsur kata itu
ditulisakan tanda hubung (-).
Misalnya: non-Asia, neo-Nazi
1. Kata Ganti ku, kau, mu, dan nya
Kata ganti ku dan kau sebagai bentuk singkat kata aku dan engkau, ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
aku bawa, aku ambil menjadi kubawa, kuambil
engkau bawa, engkau ambil menjadi kaubawa, kauambil
Misalnya:
Bolehkan aku ambil jeruk ini satu?
Kalau mau, boleh engkau baca buku itu.
Akan tetapi, perhatikan penulisan berikut ini.
Bolehkah kuambil jeruk ini satu?
Kalau mau, boleh kaubaca buku itu.
1. Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah dianggap kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.
Misalnya:
Tinggalah bersama saya di sini.
Di mana orang tuamu?
Saya sudah makan di rumah teman.
Ibuku sedang ke luar kota.
Ia pantas tampil ke depan.
Duduklah dulu, saya mau ke dalam sebentar.
Bram berasal dari keluarga terpelajar.
Akan tetapi, perhatikan penulisan yang berikut.
Kinerja Lely lebih baik daripada Tuti.
Kami percaya kepada Ada.
Akhir-akhir ini beliau jarang kemari.
1. Kata Sandang si dan sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Misalnya:
Salah Benar
Sikecil si kecil
Sipemalu si pemalu
Sangdiktator sang diktator
Sangkancil sang kancil
1. Partikel
A. Partikel –lah dan –kah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Bacalah peraturan ini sampai tuntas.
Siapakah tokoh yang menemukan radium?
B. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Apa pun yang dikatakannya, aku tetap tak percaya.
Satu kali pun Dedy belum pernah datang ke rumahku.
Bukan hanya saya, melainkan dia pun turut serta.
Catatan:
Kelompok berikut ini ditulis serangkaian, misalnya adapun, andaipun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun.
Misalnya:
Adapun sebab-musababnya sampai sekarang belum diketahui.
Bagaimanapun juga akan dicobanya mengajukan permohonan itu.
Baik para dosen maupun mahasiswa ikut menjadi anggota koperasi.
Walaupun hari hujan, ia datang juga.
C. Partikel per yang berarti (demi), dan (tiap) ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya.
Misalnya:
Mereka masuk ruang satu per satu (satu demi satu).
Harga kain itu Rp 2.000,00 per meter (tiap meter).
C. Pemakaian Tanda baca
1. Tanda titik (.)
A. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya:
Ayahku tinggal di Aceh.
Anak kecil itu menangis.
Mereka sedang minum kopi.
Adik bungsunya bekerja di Samarinda.
B. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf pengkodean suatu judul bab dan subbab.
Misalnya:
III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jendral PMD
B. Direktorat Jendral Agraria
1.Subdit ….
2. Subdit ….
I. Isi Karangan 1. Isi Karangan
A. Uraian Umum 1.1Uraian Umum
B. Ilustrasi 1.2 Ilustrasi
1.Gamba 1.2.1 Gambar
2.Tabel 1.2.2 Tabel
3.Grafik 1.2.3 Grafik
Catatan:
Tanda titik tidak dipakai di belakang angka pada pengkodean sistem digit jika angka itu merupakan yang terakhir dalam deret angka sebelum judul bab atau subbab.
C.Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka, jam, menit, dan detik yang menunjukan waktu dan jangka waktu.
Misalnya:
pukul 12.10.20 (pukul 12 lewat 10 menit 20 detik)
12.10.20 (12 jam, 10 menit, dan 20 detik)
D. Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung.
Lihat halaman 2345 dan seterusnya.
Nomor gironya 5645678.
E.Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Lawrence, Marry S, Writting as a Thingking Process. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1974.
F. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya.
Misalnya:
Calon mahasiswa yang mendaftar mencapai 20.590 orang.
Koleksi buku di perpustakaanku sebanyak 2.799.
G. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul, misalnya judul buku, karangan lain, kepala ilustrasi, atau tabel.
Misalnya:
Catur Untuk Semua Umur (tanpa titk)
Gambar 1: Bentuk Surat Resmi Indonesia Baru (tanpa titik)
H. Tanda titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim atau tanggal surat atau (2) nama dan alamat penerima surat.
Misalnya:
Jakarta, 11 Januari 2005 (tanpa titik)
Yth. Bapak. Tarmizi Hakim (tanpa titik)
Jalan Arif Rahman Hakim No. 26 (tanpa titik)
Palembang 12241 (tanpa titik)
Sumatera Selatan (tanpa titik)
Kantor Pengadilan Negeri (tanpa titik)
Jalan Teratai II/ 61 (tanpa titik)
Semarang 17350 (tanpa titik)
1. Tanda koma (,)
A. Tanda koma dipaki di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Reny membeli permen, roti, dan air mineral.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat khusus, memerlukan prangko.
Menteri, pengusaha, serta tukang becak, perlu makan.
B. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
Misalnya:
Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
Didik bukan anak saya, melainkan anak Pak Daud.
C. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Anak Kalimat Induk Kalimat
Kalau hujan tidak reda saya tidak akan pergi
Karena sakit, kakek tidak bisa hadir
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Induk Kalimat Anak Kalimat
Saya tidak akan pergi kalau hujan tidak reda.
Kakek tidak bisa hadir karena sakit.
D.Tanda koma harus dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi.
Misalnya:
Meskipun begitu, kita harus tetap jaga-jaga.
Jadi, masalahnya tidak semudah itu.
E. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bagus, ya?
Aduh, sakitnya bukan main.
F. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
Misalnya:
Kata ibu, ”Saya berbahagia sekali”.
”Saya berbahagia sekali,” kata ibu.
Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Surat ini agar dikirim kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Raya Salemba 6, Jakarta Pusat. Sdr. Zulkifli Amsyah, Jalan Cempaka Wangi VII/11, Jakarta Utara 10640
Jakarta, 11 November 2004
Bangkok, Thailand
G.Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
Misalnya:
Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Diskusi Insan Mulia, 2001), hlm. 27.
H. Tanda koma dipakai di antara orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
A. Yasser Samad, S.S.
Zukri Karyadi, M.A.
I. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misalnya:
Guru saya, Pak Malik, Pandai sekali.
Di daerah Aceh, misalnya, masih banyak orang laki-laki makan sirih.
Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti praktik komputer.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang tidak diapit oleh tanda koma.
Semua siswa yang berminat mengikuti lomba penulisan resensi segera mendaftarkan namanya kepada panitia.
J. Tanda koma dipakai untuk menghindari salah baca di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang bersunguh-sungguh.
Atas pertolongan Dewi, Kartika mengucapkan terima kasih.
K. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
”Di mana pameran itu diadakan?” tanya Sinta.
”Baca dengan teliti!” ujar Bu Guru.
1. Tanda Titik Koma (;)
A. Tanda titik koma untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
Misalnya:
Hari makin siang; dagangannya belum juga terjual.
B. Tanda titik koma dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk.
Misalnya:
Ayah mencuci mobil; ibu sibuk mengetik makalah; adik menghapal nama-nama menteri; saya sendiri asyik menonton siaran langsung pertandingan sepak bola.
C. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan unsur-unsur dalam kalimat kompleks yang tidak cukup dipisahkan dengan tanda koma demi memperjelas arti kalimat secara keseluruhan.
Misalnya:
Masalah kenakalan remaja bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab para orang tua, guru, polisi, atau pamong praja; sebab sebagian besar penduduk negeri ini terdiri atas anak-anak, remaja, dan pemuda di bawah umur 21 tahun.
Pembuktian melalui deduksi
Pembuktian melalui deduksi adalah sebuah jalan pemikiran yang menggunakan argumen-argumen deduktif untuk beralih dari premis-premis yang ada, yang dianggap benar, kepada kesimpulan-kesimpulan, yang mestinya benar apabila premis-premisnya benar.[1]
Contoh klasik dari penalaran deduktif, yang diberikan oleh Aristoteles, ialah
• Semua manusia fana (pasti akan mati). (premis mayor)
• Sokrates adalah manusia. (premis minor)
• Sokrates pasti (akan) mati. (kesimpulan)
Untuk pembahasan deduktif secara terinci seperti yang dipahami dalam filsafat, lihat Logika. Untuk pembahasan teknis tentang deduksi seperti yang dipahami dalam matematika, lihat logika matematika.
Penalaran deduktif seringkali dikontraskan dengan penalaran induktif, yang menggunakan sejumlah besar contoh partikulir lalu mengambil kesimpulan umum.
Daftar isi
• 1 Latar belakang
• 2 Logika deduktif
• 3 Deduksi alamiah
• 4 Rujukan budaya
• 5 Bacaan lebih lanjut
• 6 Rujukan
Latar belakang
Penalaran deduktif dikembangkan oleh Aristoteles, Thales, Pythagoras, dan para filsuf Yunani lainnya dari Periode Klasik (600-300 SM.). Aristoteles, misalnya, menceritakan bagaimana Thales menggunakan kecakapannya untuk mendeduksikan bahwa musim panen zaitun pada musim berikutnya akan sangat berlimpah. Karena itu ia membeli semua alat penggiling zaitun dan memperoleh keuntungan besar ketika panen zaitun yang melimpah itu benar-benar terjadi.[2]
Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.[3]
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar di antara keduanya dapat disimpulkan dari dinamika deduktif tengan progresi secara logis dari bukti-bukti umum kepada kebenaran atau kesimpulan yang khusus; sementara dengan induksi, dinamika logisnya justru sebaliknya. Penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukkan suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.
Penalaran deduktif memberlakukan prinsip-prinsip umum untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang spesifik, sementara penalaran induktif menguji informasi yang spesifik, yang mungkin berupa banyak potongan informasi yang spesifik, untuk menarik suatu kesimpulan umu. Dengan memikirakan fenomena bagaimana apel jatuh dan bagaimana planet-planet bergerak, Isaac Newton menyimpulkan teori daya tarik. Pada abad ke-19, Adams dan LeVerrier menerapkan teori Newton (prinsip umum) untuk mendeduksikan keberadaan, massa, posisi, dan orbit Neptunus (kesimpulan-kesimpulan khusus) tentang gangguan (perturbasi) dalam orbit Uranus yang diamati (data spesifik).
Logika deduktif
Penalaran deduktif didukung oleh logika deduktif.
Misalnya:
Apel adalah buah.
Semua buah tumbuh di pohon.
Karena itu semua apel tumbuh di pohon.
Atau
Apel adalah buah.
Sebagian apel berwarna merah.
Karena itu sebagian buah berwarna merah.
Premis yang pertama mungkin keliru, namun siapapun yang menerima premis ini dipaksa untuk menerima kesimpulannya.
Deduksi alamiah
Penalaran deduktif harus dibedakan dari konsep yang terkait yaitu deduksi alamiah, sebuah pendekatan kepada teori pembuktian bahwa upaya-upaya untuk memberikan sebuah model penalaran logis yang formal sebagaimana ia terjadi "secara alamiah".
Rujukan budaya
Sherlock Holmes, detektif fiktif yang diciptakan oleh Sir Arthur Conan Doyle, terkenal karena rujukannya kepada penalaran deduktif dalam berbagai cerita Doyle. Namun kesimpulan- kesimpulannya yang paling terkenal jelas sekali adalah kasus-kasus abduksi Bacaan lebih lanjut
• Vincent F. Hendricks, Thought 2 Talk: A Crash Course in Reflection and Expression, New York: Automatic Press / VIP, 2005, ISBN 87-991013-7-8
• Zarefsky, David, Argumentation: The Study of Effective Reasoning Parts I and II, The Teaching Company 2002
Rujukan
1. ^ AskOxford, Bartleby, Cambridge Dictionary of American English, Merriam-Webster.
2. ^ Thales of Miletus
3. ^ Brief Discussion on Inductive/Deductive Profiling
Penalaran
adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk suatu proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif.
Penalaran Deduktif
adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Contoh : yaitu sebuah sistem generalisasi.
Laptop adalah barang eletronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi,
DVD Player adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi,
Generalisasi : semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
Penalaran Induktif
adalah suatu penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Contoh : Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial
Korelasi Penalaran Deduktif dan Induktif
kedua penalaran tersebut seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori.
Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika. Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang disebut dengan reflective thinking atau berpikir refleksi.
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
• Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
• Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
DEDUKSI ATAU PENALARAN DEDUKTIF:
KELEBIHAN DAN KEKURANGANNYA
Fadjar Shadiq
Salah satu hal yang membedakan manusia dari binatang adalah
manusia dikaruniai Allah S.W.T. dengan akal yang paling sempurna (QS
95:4) sehingga manusia dapat bernalar, sedangkan binatang tidak.
Namun sebagian binatang telah dikaruniai dengan insting yang lebih
kuat. Di samping itu, sebagian binatang dikaruniai dengan indera yang
lebih tajam daripada indera manusia. Dengan kemampuan bernalarnya,
manusia dapat berpikir untuk menarik kesimpulan atau menyusun
pernyataan baru dari beberapa premis yang sudah diketahui atau
dianggap benar. Dikenal dua macam penalaran, yaitu penalaran induktif
atau induksi dan penalaran deduktif atau deduksi. Induksi merupakan
proses berpikir di mana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui
benar untuk kasus-kasus khusus, juga akan benar untuk semua kasus
yang serupa dengan yang tersebut tadi untuk hal-hal tertentu.
Dari pengalaman bahwa setiap kali menjumlahkan dua bilangan negatif
yang selalu menghasilkan bilangan negatif juga, maka dibuatlah suatu
pernyataan baru yang bersifat umum yaitu hasil penjumlahan setiap dua
bilangan negatif adalah bilangan negatif juga. Teori IPA banyak
disimpulkan menggunakan penalaran induktif (induksi), sedangkan
matematika dikenal bersifat deduktif aksiomatis. Penulis telah
membahas penalaran induktif (induksi), termasuk kelebihan dan
kekurangannya pada buletin LIMAS Edisi 010 yang terbit pada bulan
Oktober 2002. Artikel yang Anda baca kali ini akan membahas tentang
penalaran deduktif (deduksi) beserta kelebihan dan kekurangannya.
Jika suatu pernyataan atau proposisi dilambangkan dengan kalimat
yang memiliki nilai benar saja atau salah saja, maka istilah sahih atau
tidak sahih berkait dengan penalaran/reasoning ataupun argumen.
Contoh suatu pernyataan adalah: “Surabaya ibukota propinsi Jawa
Timur.” Istilah penalaran atau reasoning dijelaskan Copi (1978) sebagai
berikut: “Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes
place, in which conclusions are drawn from premises” (p.5). Dengan
demikian jelaslah bahwa penalaran merupakan kegiatan, proses atau
aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu
pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang diketahui
benar ataupun yang dianggap benar. Pernyataan yang diketahui atau
dianggap benar yang menjadi dasar penarikan suatu kesimpulan inilah
yang disebut dengan antesedens atau premis. Sedang hasilnya, suatu
pernyataan baru yang merupakan kesimpulan disebut dengan
konsekuens atau konklusi.
2
PENALARAN DEDUKTIF
Jika setiap siswa di suatu kelas diminta membuat lingkaran lalu mereka
diminta membuat sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur
yang sama, dan setelah itu mereka diminta mengukur besar kedua sudut
dengan tepat, maka akan didapat besar sudut pusat tersebut adalah dua
kali besar sudut kelilingnya. Pernyataan itu bernilai benar secara
induktif, karena kita telah membuat bentuk umum (general) dari
beberapa kasus khusus. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
Yakinkah Anda dengan kesimpulan itu? Untuk meyakinkan kebenaran
teorema tersebut, penarikan kesimpulan berdasar penalaran induktif
saja tidaklah cukup. Matematikawan masih bertumpu pada penalaran
lainnya yang dikenal dengan penalaran deduktif, yang akan dijelaskan
pada bagian berikutnya di bawah ini.
Untuk membuktikan kebenaran pernyataan atau teorema tentang
hubungan sudut pusat dan sudut keliling secara deduktif, maka pada
lingkaran di bawah ini telah dibuat garis pertolongan yang melalui titik C
dan titik O yang memotong lingkarannya di titik D.
Langkah pertamanya adalah dengan memisalkan bahwa DOB = xdan
DOA = y. Perhatikan bahwa pemisalannya bersifat umum di mana x
dan ymewakili besar sudut yang mungkin dari DOB dan DOA.
Dengan demikian, didapat COB = (180 – x)dan AOC = (180 – y).
Segitiga OBC merupakan segitiga samakaki, karena OB = OC (jari-jari),
begitu juga dengan segitiga AOC merupakan segitiga samakaki juga,
sehingga dapat dibuktikan dengan menggunakan sifat-sifat pada segitiga
sama-kaki bahwa DCB = ½ xdan DCA = ½ y. Jadi, secara deduktif
terbukti bahwa sudut pusat besarnya adalah dua kali besar sudut
keliling jika menghadap busur yang sama. Nyatalah sekarang bahwa
untuk membuktikan kebenaran pernyataan di atas secara deduktif,
maka teorema itu telah dibuktikan dengan menggunakan teorema
Pada penalaran deduktif; suaturumus atau dalil yang bersifat umum telah dibuktikan denganmenggunakan atau melibatkan teorema maupun rumus matematikasebelumnya yang bersifat umum juga dan sudah dibuktikankebenarannya secara deduktif. Selanjutnya, teori maupun rumusmatematika yang digunakan sebagai dasar pembuktian tadi telahdibuktikan berdasar teori maupun rumus matematika yang sebelumnyalagi. Begitu seterusnya. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah:
Bukti paling awal didasarkan pada apa? Ternyata, pembuktiannya
didasarkan pada aksioma, yaitu pernyataan yang dianggap atau
diasumsikan benar.
Contoh lainnya adalah pengetahuan Aljabar yang berkait dengan
bilangan real a, b, dan c terhadap operasi penjumlahan (+) dan perkalian
(.) yang menurut Vance (19..) telah didasarkan pada enam aksioma atau
postulat berikut:
1) tertutup, a + b R dan a.b R.
2) asosiatif, a + (b + c) = (a + b) + c dan a .(b . c) = (a . b) . c
3) komutatif, a + b = b + a dan a.b = b.a
4) distributif, a.(b + c) = a.b + a.c dan (b + c).a = b.a + c.a
5) identitas, a + 0 = 0 + a = a dan a.1 = 1. a = a
6) invers, a + (−a) = (−a) + a = 0 dan a.
.a = 1 untuk a 0.
Berdasar enam aksioma itu, teorema seperti −b + (a + b) = a dapat
dibuktikan sebagai berikut:
−b + (a + b) = −b + (b + a) Aksioma 3 I Komutatif
= (−b + b) + a Aksioma 2 I Asosiatif
= 0 + a Aksioma 6 I Invers
= a Aksioma 5 I Identitas
Dengan demikian jelaslah bahwa bangunan matematika telah disusun
dengan dasar pondasi berupa kumpulan pengertian pangkal (unsur
pangkal dan relasi pangkal) dan kumpulan sifat pangkal (aksioma).
Aksioma atau sifat pangkal adalah semacam dalil yang kebenarannya
tidak perlu dibuktikan namun sangat menentukan, karena sifat pangkal
inilah yang akan menjadi dasar untuk membuktikan dalil atau teorema
matematika selanjutnya. Dengan demikian, unsur utama pekerjaaan
matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi,
yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat
logis dari kebenaran sebelumnya. Pengertian-pengertian matematika
secara berantai didefinisikan dari pengertian sebelumnya yang
bersumber pada pengertian pangkal. Sebagaimana aksioma yang tidak
perlu dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi dasar pembuktian
dalil atau sifat berikutnya, maka pengertian pangkal tidak didefinisikan
karena pengertian pangkal akan menjadi dasar pendefinisian pengertianpengertian
atau konsep-konsep matematika berikutnya.
Karenanya, Jacobs (1982:32) menyatakan: “Deductive reasoning is a
method of drawing conclusions from facts that we accept as true by using
logic ”. Artinya, penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan
kesimpulan dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar
dengan menggunakan logika. Suatu hal yang sudah jelas benar pun
harus ditunjukkan atau dibuktikan kebenarannya dengan langkahlangkah
yang benar secara deduktif. Itulah sebabnya, bangunan
matematika dikenal sebagai mata pelajaran yang dikembangkan secara
deduktif-aksiomatis. Itulah sebabnya, pernyataan bahwa sudut pusat
besarnya adalah dua kali besar sudut keliling jika menghadap busur
yang sama terkategori bernilai benar secara deduktif, karena sesuai
dengan teori koherensi, pernyataan yang terkandung di dalam kalimat
itu bersifat koheren, konsisten, atau tidak bertentangan dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Suatu
bangunan matematika akan runtuh jika terdapat sifat, dalil, atau
teorema ada yang saling bertentangan (kontradiksi).
KESAHIHAN PENALARAN DEDUKTIF
Perhatikan contoh berikut:.
(1) Rumah Amin terletak di sebelah barat rumah Akbar.
(2) Rumah Akbar terletak di sebelah barat rumah Abdur
------------------------------------------------------------------------
Jadi, rumah Amin terletak di sebelah barat rumah Abdur (3)
Perhatikan pernyataan 1 dan 2 yang disebut premis dan menjadi dasar
penarikan kesimpulan (yaitu pernyataan 3). Apa yang menarik dari
pernyataan 1, 2, dan 3 di atas? Jika digambarkan, akan didapat diagram
berikut.
Tentunya Anda sendiri, para pembaca naskah ini, tidak akan
mengetahui apakah pernyataan tersebut bernilai benar atau tidak.
Mungkin juga Anda tidak akan mengenal dan tidak akan mengetahui
apakah ketiga orang tersebut benar-benar memiliki rumah. Tetapi Anda
dapat menyatakan bahwa jika premis-premisnya (yaitu pernyataan 1 dan
2) bernilai benar maka kesimpulannya (yaitu pernyataan 3) tidak akan
mungkin untuk bernilai salah. Sekali lagi, jika premis-premisnya bernilai
benar maka kesimpulannya tidak akan mungkin untuk bernilai salah.
Penarikan kesimpulan seperti ini disebut dengan penarikan kesimpulan
yang sah, sahih, valid, absah, atau correct. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Giere (84:39) berikut: “Any argument in which the truth of the
premises makes it impossible that the conclusion could be false is called a
deductively valid argument." Yang artinya, setiap argumen di mana
kebenaran dari premis-premisnya tidak memungkinkan bagi
kesimpulannya untuk salah disebut dengan argumen yang sah atau
valid. Penarikan kesimpulan di atas dikenal dengan nama sylogisme dan
bentuk umumnya adalah:
p _ q
q _ r
------------
p _ r
Perhatikan contoh lain dari penarikan kesimpulan atau argumen
deduktif beserta bentuk umumnya berikut ini:
Semua manusia Indonesia jago logika p _ q
Amin manusia Indonesia p
-------------------------------- ----------
Jadi, Amin jago logika q
Jika x = −3 maka x2 = 9 p _ q
x2 = 9 q
-------------------------------- ----------
Jadi x = −3 p
Contoh penarikan kesimpulan pertama di atas dikenal dengan modus
ponens dan merupakan penarikan kesimpulan yang sahih, sedangkan
contoh kedua merupakan penarikan kesimpulan yang tidak sahih.
Perhatikan contoh pertama di atas sekali lagi. Jika premis argumen
tersebut bernilai benar, maka tidak mungkin kesimpulannya bernilai
salah. Contoh kedua merupakan penarikan kesimpulan yang tidak
sahih, karena jika premis argumen tersebut bernilai benar, maka
kesimpulannya masih mungkin bernilai salah, yaitu untuk nilai x = 3.
Giere (1984) mencontohkan juga bahwa dari suatu premis-premis yang
bernilai salah akan dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang bernilai
salah maupun yang bernilai benar melalui suatu proses penarikan
kesimpulan yang valid berikut ini.
Babi adalah binatang bersayap. (Salah)
Semua binatang bersayap tidak dapat terbang. (Salah)
--------------------------------------------------------------------------
Jadi, babi tidak dapat terbang (Benar)
6
Bulan lebih besar daripada bumi. (Salah)
Bumi lebih besar daripada matahari. (Salah)
--------------------------------------------------------------------------
Jadi, bulan lebih besar daripada matahari (Salah)
KELEBIHAN PENALARAN DEDUKTIF
Pada proses induksi atau penalaran induktif akan didapatkan suatu
pernyataan baru yang bersifat umum (general) yang melebihi kasuskasus
khususnya (knowledge expanding), dan inilah yang diidentifikasi
sebagai suatu kelebihan dari induksi jika dibandingkan dengan deduksi.
Hal ini pulalah yang menjadi kelemahan deduksi. Pada penalaran
deduktif, kesimpulannya tidak pernah melebihi premisnya. Inilah yang
ditengarai menjadi kekurangan deduksi.
Perhatikan sekali lagi contoh induksi berikut:
Mangga manalagi yang masih muda kecut rasanya.
Mangga harum manis yang masih muda kecut rasanya.
Mangga udang yang masih muda kecut rasanya.
Mangga .... yang masih muda kecut rasanya.
------------------------------------------------------------------------
Jadi, semua mangga yang masih muda kecut rasanya.
Kesimpulan di atas bernilai benar karena sampai saat ini belum ada
mangga yang masih muda yang tidak kecut rasanya. Pernyataan itu
akan bernilai salah jika sudah ada ilmuwan yang menghasilkan mangga
yang tidak kecut rasanya meskipun masih muda. Dengan demikian,
hasil yang didapat dari induksi tersebut masih berpeluang untuk
menjadi salah. Sedangkan pada deduksi yang valid atau sahih,
kesimpulan yang didapat diklaim tidak akan pernah salah jika premispremisnya
bernilai benar (truth preserving), sebagaimana ditunjukkan
tadi. Inilah yang diidentifikasi sebagai kelebihan dari deduksi jika
dibandingkan dengan hasil pada proses induksi.
Sampai saat ini, para filsuf sedang memimpikan suatu bentuk argumen
atau penalaran yang dapat menghasilkan pernyataan baru yang bersifat
umum yang melebihi kasus-kasus khususnya (knowledge expanding);
dan hasilnya tidak akan salah jika premis-premisnya bernilai benar
(truth preserving). Menurut Giere (1984:45), impian para filsuf tersebut
tidak akan terlaksana dan manusia dituntut untuk memilih salah satu
sesuai dengan kebutuhannya sebagaimana pernyataannya: “The
philosophers’ dream of finding a form of argument that would be both truth
preserving and knowledge expanding is an impossible dream. You must
choose one or the other. You cannot both.” Pernyataan Giere ini telah
menunjukkan bahwa kedua penalaran itu memiliki kelemahan dan
7
kekuatannya sendiri-sendiri. Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa
pada penalaran deduktif yang valid, jika premisnya bernilai benar maka
kesimpulannya tidak akan pernah bernilai salah. Namun jika premisnya
bernilai salah maka kesimpulannya bisa bernilai salah dan bisa juga
bernilai salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar