Jumat, 20 November 2009

Dampak Negatif Tayangan Iklan, Siapa Bertanggung Jawab?

Pada suatu hari saya berbelanja di salah satu pasar swalayan.
Ketika sedang asyik memilih barang belanjaan, ada seorang espege (sales promotion girl) menawarkan suatu produk minyak goreng yang dikemas dalam botol plastik.
Agar minyak goreng ini menarik perhatian dan cepat laku, si espege ini mengatakan, ?pak,” gunakan akal sehat”.? Mendengar kalimat tersebut, saya pun kesal dan menjawab sambil meninggalkan si espege: ?Maaf, akal saya lagi nggak sehat.?
Perusahaan yang memproduksi minyak goreng ini pun menayangkan iklan dengan kalimat ?” gunakan akal sehat “? di media televisi dan radio. Iklan ini mau mengajak pemirsa agar dalam membeli minyak goreng menggunakan akal yang sehat.
Selanjutnya dari iklan ini bisa ditafsirkan bahwa yang tidak menggunakan produk ini tidak memiliki akal sehat alias bodoh. Bisa diduga banyak konsumen yang tidak setuju dengan kata-kata yang ada di iklan itu dan hal itu menjadi kenyataan.
Setelah iklan tersebut ditayangkan di televisi dan radio, banyak konsumen yang menyatakan ketidak-senangan mereka melalui surat pembaca yang dimuat di berbagai media cetak.
Iklan tersebut memang menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Selain contoh ini, masih banyak lagi deretan iklan yang menjadi bahan perdebatan. Sebut misalnya iklan jamu ramuan Madura, iklan produk kacang, dan sebagainya.
Materi iklan itu begitu cepat populer karena mudah dihafal oleh masyarakat. Namun apakah materi itu memenuhi etika atau tidak, merupakan persoalan yang berbeda yang perlu pembahasan lebih lanjut.
Untuk membahas soal tata krama dan tata cara periklanan ini maka Komisi Periklanan Indonesia menyelenggarakan Diskusi Besar Etika Periklanan yang diselenggarakan selama dua hari di Hotel Hilton, Jakarta 27 Juni 2009.
Diskusi ini tentu sangat penting karena bertujuan sangat mulia. Sebab, bagaimanapun harus ada pihak yang memiliki tanggung jawab moral terhadap materi iklan yang akan ditayangkan. Minimal tanggung jawab moral dari perusahaan periklanan yang membuat materi iklan suatu produk.
Komisi Periklanan Indonesia ini merupakan suatu lembaga yang beranggotakan delapan komponen yang terkait langsung dengan industri periklanan.
Kedelapan komponen tersebut adalah Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Serikat Penerbit Surat kabar Indonesia (SPS), dan Yayasan Televisi Republik Indonesia (Yayasan TVRI).
Acara yang digelar KPI kali ini merupakan yang ketiga kali sejak didirikan dalam suatu konvensi pada 17 September 1981. Namun pada konvensi yang pertama itu, perusahaan televisi belum ikut serta. Namun pada konvensi yang kedua yang diselenggarakan pada 19 Agustus 1996 industri televisi telah ikut berpartisipasi.
Pada konvensi tersebut dibicarakan lagi tentang Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.

Dua Faktor Penting
Menurut RTS Masli, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, acara yang diikuti oleh sekitar 130 peserta dari berbagai perusahaan yang terkait dengan industri periklanan ini sangat penting. ?Ada dua faktor penting dan sangat mendesak sehingga masalah periklanan ini harus segera diatur,? kata Masli.
Yang pertama tingkat pertumbuhan industri periklanan sangat pesat, yaitu dalam kurun waktu lima tahun rata-rata lebih dari 34 persen.

Ini bukan hanya berarti lebih dari tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, tapi juga melebih tingkat pertumbuhan industri-industri lainnya.
Hal yang kedua menurut Masli, tingkat kesadaran dari para praktisi periklanan nasional tentang pentingnya penegakan etika ternyata masih sangat kurang. Masli berharap agar dengan ditegakannya etika dan tata krama perikalanan Indonesia, maka konsumen terutama bisa dilindungi.
Praktisi periklanan harus mengatur sendiri tata krama dan etika periklanan yang berlaku, kalau tidak mengatur sendiri di khawatirkan nantinya di atur pemerintah.
Sebagai contoh, Masli menyebut soal Undang-undang Penyiaran yang menjadi bahan perdebatan sampai saat ini. Masli mengatakan bahwa Undang-undang tersebut diatur oleh mereka yang tidak terkait langsung dengan industri penyiaran.
Kita harus mengatur tata krama sendiri. Kita tidak mau pemerintah ikut campur tangan soal tata cara dan tata krama kita,? kata Masli, juga Ketua Komisi Periklanan Indonesia di saat berlangsungnya Diskusi Besar Etika Periklanan.
Sementara itu Christian Tooy, Ketua Panitia diskusi ini menjelaskan acara ini melibatkan 22 pembicara dari berbagai latar belakang. Aktivis perempuan Gadis Arivia dan Nursyahbani Kartjasungkana misalnya menjadi pembicara utama pada topik ?Aspek-aspek kesetaraan jender dan komunikasi kemasyarakatan,? sedangkan DR Seto Mulyadi berbicara tentang ?Pengaruh Komersialisasi pada perkembangan anak.? DR Adnan Buyung Nasution dan Nico Kansil menjadi pembicara utama tentang hak cipta.
?Masalah iklan partai politik juga dibicarakan di acara ini. Artinya, apakah iklan parpol boleh atau tidak, kalau boleh ya nanti harus dimasukan ke dalam tata cara,? kata Christian Tooy. Paling tidak, menurut Tooy ada 36 pasal yang meliputi masalah-masalah jender, internet, obat-obatan, makanan dan minuman, akan dibicarakan dalam Diskusi Besar Etika Periklanan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar