Jumat, 20 November 2009

KAJIAN TERHADAP MINUMAN RINGAN

KAJIAN TERHADAP MINUMAN RINGAN
SEBAGAI CALON BARANG KENA CUKAI DALAM RANGKA
EKSTENSIFIKASI OBJEK BARANG KENA CUKAI

Pengertian Minuman Ringan
Minuman ringan (soft drink) adalah minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan dan / atau bahan tambahan lainnya baik alami maupun sintetik yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi. Minuman ringan terdiri dari dua jenis, yaitu: minuman ringan dengan karbonasi (carbonated soft drink) dan minuman ringan tanpa karbonasi.
Minuman ringan dengan karbonasi adalah minuman yang dibuat dengan mengabsorpsikan karbondioksida ke dalam air minum. Minuman ringan tanpa karbonasi adalah minuman selain minuman ringan dengan karbonasi.
Bahan makanan dan tambahan lainnya yang ditambahkan dalam minuman ringan terdiri dari:
a. Bahan makanan alami meliputi buah-buahan dan / atau produk dari buah-buahan, daun-daunan dan/atau produk dari daun, akar-akaran, batang/kayu tumbuhan, rumput laut, susu dan / atau produk dari susu.
b. Bahan makanan sintetik meliputi sari kelapa, vitamin, stimulan.
c. Tambahan lainnya meliputi: pemberi rasa, pemberi asam, pemberi aroma, pewarna dan pengawet, garam.
Berikut ini disampaikan penjelasan-penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan minuman ringan:
1. Air berkarbonasi merupakan kandungan terbesar di dalam carbonated soft drink. Air yang digunakan harus mempunyai kualitas tinggi, yaitu: jernih, tidak berbau, tidak berwarna, bebas dari organisme yang hidup dalam air, alkalinitasnya <50 ppm, total padatan terlarut <500 ppm, dan kandungan logam besi dan mangan <0.1 ppm. Sederet proses diperlukan untuk mendapatkan kualitas air yang diinginkan, antara lain: klorinasi, penambahan kapur, koagulasi, sedimentasi, filtrasi pasir, penyaringan dengan karbon aktif, dan demineralisasi dengan ion exchanger. Carbondioxida yang digunakan juga harus semurni mungkin dan tidak berbau. Air berkarbonasi dibuat dengan cara melewatkan es kering (dry ice) ke dalam air es.
2. Bahan pemanis yang digunakan dalam minuman ringan terbagi dalam dua kategori:
a. Natural (nutritive), antara lain gula pasir, gula cair, gula invert cair, sirup jagung,dengan kadar fruktosa tinggi, dan dekstrosa
b. Sintetik (non nutritive), satu-satunya yang direkomendaasikan oleh FDA (Food & Drugs Administration Standard, Amerika Serikat) adalah sakarin.
3. Pemberi asam (acidulants) ditambahkan dalam minuman dengan tujuan untuk memberikan rasa asam, memodifikasi manisnya gula, berlaku sebagai pengawet, dan dapat mempercepat inversi gula dalam sirup/minuman. Acidulant yang digunakan dalam minuman harus dari jenis asam yang dapat dimakan (edible/food grade) antara lain asam sitrat, asam phosphate, asam malat, asam tartarat, asam fumarat, asam adipat, dan lain-lain.
4. Pemberi aroma disiapkan oleh industri yang berkaitan dengan industri minuman dengan formula khusus, kadang-kadang telah ditambah dengan asam dan pewarna, dalam bentuk:
a. Ekstrak alkoholik (menyaring bahan kering dengan larutan alkoholik), misalnya: jahe, anggur, lemon-lime dan lain-lain
b. Larutan alkkoholik (melarutkan bahan dalam larutan air-alkohol), misalnya: strawberry, cherry, cream soda dan lain-lain.
c. Emulsi (mencampur essential oil dengan bahan pengemulsi, misalnya: vegetable gum), misalnya untuk citrus flavor, rootbeer dan kola.
d. Fruit juices, misalnya: orange, grapefruit, lemon, lime dan grape.
e. Caffeine, sebagai pemberi rasa pahit (bukan sebagai stimulan)
f. .Ekstrak biji kola.
g. Sintetik flavor, misalnya: ethyl acetate/amyl butyrate yang memberikan aroma grape.
5. Pewarna untuk meningkatkan daya tarik minuman:
a. natural, misalnya dari grape, strawberry, cherry dan lain-lain.
b. semi sintetik, misalnya: caramel color
c. sintetik, dari 8 jenis pewarna yang dapat dimakan (food grade), hanya 5 yang diperkenankan oleh FDA untuk digunakan sebagai pewarna dalam minuman ringan.
6. Pengawet, misalnya asam sitrat untuk mencegah fermentasi dan sodium benzoate.
7. Proses pembuatan:
Proses produksi dimulai dengan pembuatan sirup, yaitu mencampur gula dengan air dingin, kemudian dijernihkan dengan penambahan karbon aktif dan bahan penyaring yang dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan alat berupa plat atau frame filter. Larutan sirup kemudian dapat disterilisasi dengan penyinaran ultra violet. Sirup, bahan tambahan, air, dan karbondioksida diaduk dengan temperatur dan tekanan diatur pada kondisi tertentu, kemudian produk akhir berupa minuman ringan dikemas dalam botol/kaleng.
8. Pengemasan, minuman berkarbonat umumnya dikemas dalam botol (gelas /plastik) atau kaleng, sedangkan minuman tanpa karbonat dapat juga dikemas dalam kotak kardus dengan persyaratan umum sebagai berikut:
a. mempunyai kekuatan mekanis sehingga dapat menjaga mutu, penampilan dan kandungan produk.
b. mempunyai penampilan yang menarik.
c. steril pada setiap pemakaian.
d. mudah dalam pengisian maupun penyegelan
Masing-masing pengemas mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain:
a. botol gelas, dapat digunakan ulang (reuse)tanpa mengalami pengolahan atau perubahan bentuk, akan tetapi harus melalui proses pencucian dan sterilisasi dengan menggunakan detergent dan soda kaustik.
b. botol plastik, dapat didaur ulang (recycle) dengan pengolahan fisik atau kimiawi untuk menghasilkan produk sama atau produk yang lain.
c. kaleng, dapat melindungi produk dari cahaya, mencegah kandungan produk yang mudah teroksidasi karena cahaya maupun udara dalam kaleng, akan tetapi relatif lebih mahal karena dibuat dari bahan tahan korosi misalnya dari plat baja dengan lapisan timah atau dari aluminium.
d. Kotak kardus, kekuatan mekanisnya relatif lebih rendah, umur produk singkat.
0 Potensi Penerimaan
Dari data Biro Pusat Statistik diperoleh informasi mengenai jumlah perusahaan minuman ringan di seluruh Indonesia dan nilai produksi, serta volume produksi untuk tahun 1994 s.d. 1997. Untuk keperluan analisis, telah dilakukan interpolasi nilai dan volume produksi untuk tahun 1988 s.d. 1993 dengan mempertimbangkan faktor Consumer Price Index untuk tahun yang bersangkutan.
Tabel 1: Perkembangan Produksi Minuman Ringan selama tahun 1988 s.d. 1997
Tahun Jumlah perusahaan Nilai produksi
(Rp.000) Volume produksi
(000 liter) Harga
Prod/lt
(Rp)
1988 130 201,876,901 266,442 757,67
1989 142 282,193,286 314,250 897.,98
1990 119 244,897,195 215,742 1135,14
1991 117 310,655,248 191,307 1623,6
1992 146 445,555,498 348,225 1279,51
1993 61 542,330,368 280,551 1933,09

1994 20 418,250,636
391,416 1068,56

1995 24 543,134,092
318,716 1704,13

1996 20 312,632,921
165,744 1886,24

1997 29 739,303,146
393,795 1877,38


Dari data tersebut di atas, nilai dan volume produksi minuman ringan secara keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini berarti bahwa permintaan masyarakat terhadap produk-produk minuman ringan cenderung mengalami kenaikan selama sepuluh tahun terakhir. Meskipun permintaan meningkat namun harga minuman ringan dari tahun ke tahun secara keseluruhan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini berarti industri minuman ringan telah berjalan cukup efisien sehingga dapat menekan biaya produksi.
Penerimaan negara yang dapat dikumpulkan dari industri minuman ringan sudah cukup besar, namun belum optimal, mengingat konsumen minuman ringan belum dilibatkan. Potensi penerimaan yang dapat digali di tingkat konsumen adalah pengenaan cukai. Untuk menjamin keadilan pemungutan cukai terhadap konsumen untuk tiap-tiap jenis minuman ringan diperlukan penetapan tarif yang sesuai. Menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, besarnya tarif cukai yang dapat dikenakan adalah 0% s.d. 250% dari harga pabrik atau 0% s.d. 55% dari harga jual eceran. Berikut ini disajikan data peramalan penerimaan negara dari pengenaan cukai terhadap minuman ringan dengan asumsi harga dasar pabrik tahun 1997 untuk tarif 0% dan hasil regresinya untuk tarif berikutnya:

1 Elastisitas Permintaan
Berdasarkan analisis statistik terhadap data produksi industri minuman ringan di Indonesia yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik, dapat disimpulkan bahwa minuman ringan secara umum mempunyai sifat permintaan inelastis (-0.82). Koefisien elastisitas ini berarti bahwa kenaikan harga 10% akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar 8,2%. Kesimpulan ini berarti permintaan dan penawaran produk minuman ringan kurang peka terhadap perubahan harga, dalam batas-batas tertentu peningkatan harga minuman ringan tidak akan terlalu mempengaruhi permintaan masyarakat. Dalam kondisi ini penerimaan cukai yang diterima dapat lebih besar karena pengenaan cukai hanya akan mengakibatkan penurunan jumlah barang yang diminta dalam proporsi yang lebih rendah dari tarif cukainya. Namun demikian dalam penerapannya perlu hati-hati mengingat barang yang memiliki sifat tersebut umumnya merupakan barang yang dikonsumsi sebagian besar anggota masyarakat.
2 Kemudahan Administrasi dan Pengawasan
Kemudahan administrasi dimaksudkan agar penanganan barang kena cukai baru ini dapat dilakukan secara tertib, terkendali, sederhana dan mudah dipahami.
Untuk minuman ringan yang dibuat di Indonesia saat pengenaan cukai adalah pada saat proses pembuatannya selesai dengan tujuan untuk dipakai. Menurut data BPS, pabrik minuman ringan tersebar hampir di seluruh propinsi yang meliputi + 130 perusahaan. Hal ini menyebabkan sulitnya pengawasan, apalagi akhir-akhir ini banyak berdiri produk minuman ringan dihasilkan oleh industri rumah tangga yang belum terdaftar pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan.Sebaiknya objek pengenaan cukai dikenakan terhadap perusahaan yang terdaftar dan mempunyai potensi untuk dikenakan cukai.
Jenis minuman ringan yang beredar dipasaran cukup bervariasi baik dari segi jenis dan kualitas. Maka pelu adanya pengenaan tarif yang proporsional sesuai dengan kualitas dan jenis. Untuk hal ini diperlukan adannya pengawasan fisik. Baik berupa pengawasan di pabrik maupun dilapangan dan juga dengan pengawasan pembukuan (Audit).
Untuk minuman ringan yang diimpor, saat pengenaan cukainya adalah pada saat memasuki daerah pabean, sedangkan pelunasan cukainya adalah pada saat produk dimasukkan ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai/dimiliki/dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia. Pelunasan cukai bersamaan dengan pembayaran bea masuk pada saat diimpor untuk dipakai. Penerapan secara administrasi dan pengawasannya hampir sama dengan Minuman Mengandung Etil Alkohol.
3 Dampak Lingkungan dan Sosial
Dalam proses pengolahan bahan baku menjadi bentuk yang siap dikonsumsi terjadi pula hasil sampingan berupa sampah atau limbah, baik berupa cair, padat maupun gas. Hal ini wajar terjadi karena dalam setiap perubahan dari satu bentuk materi menjadi bentuk lainnya tidak pernah terjadi perubahan yang efisien, selalu ada sisa yang disebut limbah. Semua limbah ini akan dikembalikan ke lingkungan. Namun jika jumlahnya sedemikian banyak maka menyebabkan pencemaran lingkungan yang berarti mengganggu kelestarian lingkungan akibat turunnya kualitas air, tanah dan udara. Hampir sebagian besar industri minuman ringan menyedot air tanah sebagai sumber bahan baku utama. Pengambilan air tanah secara berlebihan dan tidak terkendali mengakibatkan antara lain :
a. Turunnya permukaan tanah
b. Peresapan air laut sehingga menyebabkan turunnya kualitas air tanah
Eksploitasi air tanah dalam jumlah tidak terkendali akan juga memberikan pengaruh secara langsung terhadap masyarakat sekitarnya yang menggunakan air tanah untuk keperluan sehari-hari. Dampak lain adalah akibat limbah yang dihasilkan oleh industri minuman ringan.
Limbah industri minuman ringan dapat berupa:
a. Limbah cair yang berasal dari proses pencucian botol karena pabrik minuman biasanya memanfaatkan kembali botol bekas. Sebagian besar volume dari kandungan air alkalin panas mengandung padatan terlarut. Dan juga limbah cair yang berasal dari ceceran /tumpahan sirup dan cairan lainnya selama proses pengadukan, pembotolan/pengalengan, pembersihan tangki, aliran pengisian bahan baku. Sumber limbah cair lainnya berasal dari sistem pengolahan air untuk bahan baku air dan dari peralatan mesin-mesin/bengkel berupa oli, minyak atau lemak. Keseluruhan limbah cair ini akan mengakibatkan turunnya kualitas air tanah yaitu meningkatnya pH, padatan tersuspensi dan BOD.
b. Limbah padat yang berasal dari bekas kemasan, misalnya pecahan botol, kemasan plastik yang tidak dapat didaur ulang, sampah dari bekas kardus.
Sedangkan dampak negatif yang diakibatkan industri minuman ringan terhadap lingkungan sosial atau kehidupan masyarakat antara lain;
a. minuman ringan terutama yang mengandung karbonat mempengaruhi kinerja organ dalam terutama ginjal. Hal ini diakibatkan karena karbonat dapat mengikat kalsium dalam darah dan membentuk CaCO3 yang akan mengendap/ berkumpul dalam ginjal.
b. Meningkatnya intensitas beberapa penyakit yang berhubungan dengan kondisi lingkungan di sekitar pabrik yang kurang sehat, misalnya penyakit kulit
Besarnya dampak negatif ini baik bagi lingkungan maupun bagi kehidupan sosial yang diakibatkan oleh industri minuman dapat dijadikan sebagai dasar dijadikannya minuman ringan sebagai objek barang kena cukai. Tentu saja dengan harapan pendapatan cukai nantinya dialokasikan untuk pembangunan secara berkesinambungan, terutama untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial yang diakibatkan oleh industri minuman ringan dan membentuk suatu badan atau yayasan yang berkecimpung di bidang recycle, reuse, dan recovery limbah.
4 Pajak Lainnya
Sampai saat ini industri dan distribusi minuman ringan telah menjadi obyek pemungutan pajak. Paajak-pajak lainnya yang ditanggung oleh perusahaan yang memproduksi dan menjual produk minuman ringan antara lain:
a. Pajak penghasilan (PPh) Badan dan Orang Pribadi.
b. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
d. Bea Masuk atas kandungan barang impor.
e. Bea Materai.
f. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Dengan demikian, maka pengenaan cukai akan mempengaruhi penerimaan perpajakan lain. Dengan memperhitungkan pengaruh tersebut, pengukuran keberhasilan program ekstensifikasi objek cukai untuk meningkatkan penerimaan negara harus memperhitungkan penurunan penerimaan perpajakan lainnya. Namun demikian, karena permintaan atas minuman ringan ini sifatnya inelastis diharapkan penerimaan cukai tetap lebih besar dari penurunan penerimaan pajak-pajak lain disektor minuman ringan
5 Kandungan Impor
Dalam proses pembuatan minuman ringan diperlukan bahan makanan dan / atau bahan tambahan lainnya yang berasal dari dalam negeri maupun diimpor, misalnya: pemberi aroma, pewarna, dan lain-lain. Berdasarkan data dari BPS dapat diketahui :
Tabel 3. Kandungan Impor Industri Minuman Ringan
Tahun Jumlah perusahaan Nilai
Impor Bahan baku Kandungan impor
(%) Kandungan lokal
(%)
1988 130 28484826 97103943 29 71
1989 142 34827486 121364470 29 71
1990 119 14397291 91260880 16 84
1991 117 1334960 88628842 16 84
1992 146 30061283 169295168 18 82
1993 61 32635764 25126418 13 87
1994 20 10145964
140422204
7 93
1995 24 40270674
171909029
23 77
1996 20 27406621
96040876
22 78
1997 29 47745661
214129487
18 82
Rata-rata 19.1 80.9
Semakin besar kandungan impor yang diperlukan dalam produksi semakin banyak devisa negara yang tersedot, sehingga perlu dilakukan pembatasan produksi antara lain dengan menerapkan pengenaan cukai yang berbeda antara minuman yang menggunakan komponen lokal dengan yang menggunakan komponen impor. Melihat data di atas kandungan impor industri minuman ringan dengan rata-rata kandungan impor 19.1% termasuk masih dalam tingkat wajar.
6 Tenaga Kerja
Semakin banyak tenaga kerja yang terserap dalam suatu industri semakin baik bagi ekonomi negara kita karena dapat membantu meningkatkan pendapatan perkapita dan tingkat konsumsi. Dari Tabel 4 dapat dilihat industri minuman ringan tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja, karena umumnya pabrik-pabrik besar lebih banyak menggunakan tenaga mesin yang telah diprogram secara otomatis untuk meningkatkan efisiensi. Rata-rata penyerapan tenaga kerja pada industri minuman ringan adalah sebesar 8146 orang dengan rata-rata penyerapan tiap perusahaan sebesar 132 orang. Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek tenaga kerja, sumbangan industri minuman ringan terhadap peningkatan pendapatan perkapita relatif rendah. Industri minuman ringan juga termasuk industri yang padat modal, hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara jumlah produksi dengan penyerapan tenaga kerja, karena itu produk minuman ringan layak untuk dikenakan cukai.
Tabel 4: Penyerapan Tenaga Kerja Industri Minuman Ringan
Tahun Jumlah perusahaan Jumlah tenaga kerja Rata-rata tenaga kerja per pabrik Volume produksi
(000 liter) Kapasitas tenaga kerja
1988 130 8003 62 266442 33
1989 142 9973 70 314250 32
1990 119 9391 79 215742 23
1991 117 13129 112 191307 15
1992 146 13208 91 348225 26
1993 61 10797 177 280551 26
1994 20 3143
157 391416 124
1995 24 5264
219 318716 61
1996 20 3449
173 165744 48
1997 29 5099
176 393795 77
Rata-rata 8146 132 288619 35
Seperti telah dijelaskan di muka, pada tingkat tarif tertentu, pengenaan cukai akan mengurangi produksi yang pada gilirannya dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Perhitungan tersebut didasrkan pada asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi 0%. Namun berdasarkan analisis data statistik dijumpai adanya pertumbuhan ekonomi selama tahun 1999 dan kemungkinan berlanjut pada tahun 2000 ini. Selama dua tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi diperkirakan dapat mencapai 5%.
Dengan adanya pertumbuhan tersebut, penurunan nilai produksi sudah barang tentu tidak akan mencapai angka sebagaimana diasumsikan apabila tidak ada pertumbuhan, demikian pula halnya dengan pengurangan tenaga kerja. Pada TA 2000 untuk pembebanan cukai sebesar 25 % dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, maka disektor minuman ringan akan terjadi pengurangan tenaga kerja sebesar 10,26 % dengan konpensasi cukai sebesar 263,13 juta/tenaga kerja.
7 Orientasi Ekspor
Semakin besar prosentase ekspor yang disumbangkan suatu industri semakin banyak membantu meningkatkan devisa negara. Dilihat dari data pada Tabel 5, industri minuman ringan belum banyak menyumbangkan peningkatan devisa negara. Selain ditujukan untuk menambah potensi penerimaan negara, pengenaan cukai dapat dimanfaatkan untuk memacu industri dalam negeri agar lebih banyak melakukan ekspor. Terhadap produk minuman ringan yang diekspor, tidak dipungut cukainya, sebagaimana barang kena cukai lainnya yang telah ditetapkan dengan undang-undang.
Tabel 5: Orientasi Ekspor Industri Minuman Ringan
Tahun Nilai produksi
(Rp.000) Nilai
Ekspor % ekspor
1988 201876901 - -
1989 282193286 - -
1990 244897195 8736258 1
1991 310655248 91068583 1
1992 445555498 50621872 1
1993 542330368 35948797 1
1994 418250636
3620323
1
1995 543134092
819486 0
1996 312632921
38611008 12
1997 739303146
- 0
0 Penutup
Pada saat ini, Indonesia hanya mengenakan cukai terhadap tiga jenis barang, yaitu hasil tembakau, etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol. Kondisi ini menyebabkan Indonesia dikenal sebagai satu dari sedikit negara di dunia yang mengenakan cukai terhadap sedikit jenis barang atau lebih dikenal dengan istilah extreemely narrow coverage. Dengan demikian, pengembangan potensi pemungutan cukai terhadap lebih banyak jenis barang, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 1995, masih dapat dilakukan. Salah satu jenis barang yang memungkinkan untuk dikenakan cukai adalah minuman ringan. Sebagai bahan perbandingan minuman ringan telah dikenakan cukai pada 60 negara di dunia. Diantaranya Thailand.
Pengenaan cukai dapat dilakukan berdasarkan harga pabrik maupun harga jual eceran sebagai harga dasar dengan kisaran berturut-turut antara 0% s.d. 250% dan 0% s.d. 55%. Besarnya pengenaan tarif cukai dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, tingkat pencemaran lingkungan yang dihasilkan, perbandingan antara bahan penyusun ex impor dan lokal, dan lain-lain.
Pengenaan cukai pada tarif tertentu, selain akan menghasilkan penerimaan negara, juga mengakibatkan penurunan produksi dan pengurangan jumlah pegawai. Namun demikian, perlu pula dipertimbangkan terdapatnya pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan perhitungan statistik (terlampir) akan mempertinggi potensi penerimaan cukai dan mengurangi tingkat pemutusan hubungan kerja sebagai akibat dari penurunan produksi.
Analisis di atas berdasarkan asumsi bahwa income per capita tetap. Namun demikian, berdasarkan analisis data statistik, pada tahun 1999, PDB tumbuh sekitar 2% dan tahun 2000 pertumbuhan PDB diperkirakan mencapai 3%, dengan demikian untuk dua tahun, perrtumbuhan PDB mencapai 5%. Pertumbuhan PDB ini akan mendorong pertumbuhan industri minuman ringan sebesar 6,75%.
Tanpa adanya pertumbuhan tersebut, pada tarif cukai 25%, misalnya, diperkirakan akan diperoleh penerimaan negara sebesar Rp. 137,67 Milyar pada tahun 2000 apabila dihitung berdasarkan Nilai Produksi. Pada tarif cukai ini industri akan mengalami penurunan produksi sebesar 20% dan pengurangan tenaga kerja sebanyak 15%. Dengan memperhitungkan terdapatnya pertumbuhan ekonomi, selama dua tahun (1999 dan 2000) sebesar 5%, potensi penerimaan dari cukai minuman ringan pada Tahun Anggaran 2000 dapat menjadi Rp. 146,59 Milyar dengan penurunan produksi sebesar 13,68 % dan pengurangan angka PHK 10,26 %.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain, penurunan produksi yang mild dan optimalisasi penerimaan negara, dapat direkomendasikan tingkat tarif ad volarum rata-rata terhadap minuman ringan sebesar 25% atau tarif spesifik sebesar Rp.725/liter yang akan menghasilkan penerimaan negara berkisar antara Rp. 137,67 Milyar s.d. Rp. 172 Milyar yang dihitung baik berdasarkan Nilai Produksi maupun Jumlah Produksi. Jika memperhitungkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 % selama dua tahun (1999 dan 2000) penerimaan negara menjadi sebesar Rp. 146,96 s.d Rp.183,6 Milyar.
Tabel 6. Projeksi Penerimaan Cukai Tahun Anggaran 2000
Dengan Pengenaan Cukai Sebesar 25%
No Dasar Perhitungan Income Tetap (Dalam Rp) Income Berubah (Dalam Rp)
1 Nilai Produksi (Rp) 137.670.083.110 146.962.813.720
2 Jumlah Produksi (liter) 172.039.190.630 183.651.835.990
Tabel 2a: Peramalan Penerimaan Negara
Berdasarkan Nilai Produksi Tahun 2000
Tarif
(%) Nilai Produksi
Kena Cakai
Satu Tahiun
(000 Rp) Nilai produksi
Kena Cukai
9 Bulan
(000 Rp) Penerimaan
Satu Tahun
(000 Rp) Penerimaan
9 Bulan
(000 Rp)
0 917800554,09 688350415,56 0,00 0,00
5 880170731,29 660128048,46 44008536,56 33006402,42
10 842540908,57 631905681,43 84254090,86 63190568,14
15 804911085,86 603683314,39 120736662,88 90552497,16
20 767281263,14 575460947,36 153456252,63 115092189,47
25 729651440,43 547238580,32 182412860,11 136809645,08
30 692021617,72 519016213,29 207606485,31 155704863,99
35 654391795,00 490793846,25 229037128,25 171777846,19
40 616761972,29 462571479,22 246704788,92 185028591,69
45 579132149,57 434349112,18 260609467,31 195457100,48
50 541502326,86 406126745,15 270751163,43 203063372,57
55 503872504,15 377904378,11 277129877,28 207847407,96
60 466242681,43 349682011,07 279745608,86 209809206,64
65 428612858,72 321459644,04 278598358,17 208948768,63
70 390983036,00 293237277,00 273688125,20 205266093,90
75 353353213,29 265014909,97 265014909,97 198761182,48
80 315723390,58 236792542,93 252578712,46 189434034,35
85 278093567,86 208570175,90 236379532,68 177284649,51
90 240463745,15 180347808,86 216417370,63 162313027,97
95 202833922,43 152125441,83 192692226,31 144519169,73
100 165204099,72 123903074,79 165204099,72 123903074,79
Dengan menggunakan hitorical data (perhitungan time series analisys) nilai produksi selama periode tahun 1988-1997 diperoleh angka koofisien sebesar 1,0747 yang digunakan untuk memprediksi nilai produksi tahun 2000 yaitu sebesar Rp.917.800.554.090.
Dengan menggunakan instrumen tarif maka dapat dihitung nilai produksi setelah dikenakan cukai. Nilai produksi setelah dikenakan cukai dapat dihitung dari nilai produksi tahun 2000 sebelum dikenakan cukai, dikurangi angka elastisitas permintaan sebesar 0,82 yang dikalikan tarif dan nilai produksi tahun 2000 sebelum dikenakan cukai.
Penerimaan cukai dapat dihitung dengan cara mengalikan besarnya tarif cukai dengan nilai produksi setelah dikenakan cukai. Oleh karena tahun anggaran 2000 berlangsung 9 bulan yaitu dari bulan April s.d Desember 2000, maka prediksi penerimaan cukai hanya dihitung selama 9 bulan saja.
Untuk analisa prediksi penerimaan cukai, produksi minuman ringan tahun 2000 diprediksikan sama dengan produksi minuman ringan tahun 1997 (pertumbuhan ekonomi tahun 1999 adalah 2 % dan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2000 adalah 3%) dengan asumsi bahwa selama periode tahun 1998-1999 dianggap tidak ada kenaikan produksi minuman ringan bahkan produksi minuman ringan ada kecendrungan mengalami penurunan, sehingga produksi minuman ringan tahun 1997 digunakan sebagai acuan untuk memperhitungkan produksi minuman ringan tahun 2000.
Berdasarkan tabel diatas, optimalisasi penerimaan tercapai pada tingkat tarif sebesar 60%. Pada tingkat tarif tersebut terjadi penurunan produksi sebesar 48 %. Hal ini akan menimbulkan dampak negatif baik sosial maupun ekonomi yang tidak diharapkan. Dengan memperhitungkan aspek penerimaan, sosial dan ekonomi maka tarif ad valorum yang ideal sekitar 25% dengan penurunan produksi sekitar 20 %, akan memberikan penerimaan negara sebesar Rp. 136,8 milyar.
Prediksi penerimaan cukai diatas berdasarkan nilai produksi. Untuk menguji keabsahan dari analisa tersebut perlu dilakukan sensitivity analisys dengan menggunakan pengaruh pembebanan cukai terhadap penurunan produksi (dalam liter) untuk mendapatkan prediksi penerimaan cukai.
Peramalan penerimaan negara selengkapnya berdasarkan jumlah produksi untuk Tahun 2000 disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2b: Peramalan Penerimaan Negara Berdasarkan Jumlah Produksi
Tahun 2000
Tarif
(%) Harga
Pabrik
(Rp/ltr) %Penurunan
Produksi Jml Produksi
(000 liter)
satu tahun Jml Produksi
(000 Liter)
9 bulan Penerimaan Negara
Satu tahun
(000 Rp) Penerimaan
Negara
9 Bulan
(000 Rp)
0 2330 0 393795,00 295346,25 0,00 0,00
5 2447 4 378043,20 283532,40 46244134,44 34683100,83
10 2563 8 362291,40 271718,55 92855285,82 69641464,37
15 2680 12 346539,60 259904,70 139282928,73 104462196,55
20 2796 16 330787,80 248090,85 184976537,76 138732403,32
25 2913 20 315036,00 236277,00 229385587,50 172039190,63
30 3029 24 299284,20 224463,15 271959552,54 203969664,41
35 3146 28 283532,40 212649,30 312147907,47 234110930,60
40 3262 32 267780,60 200835,45 349400126,88 262050095,16
45 3379 36 252028,80 189021,60 383165685,36 287374264,02
50 3495 40 236277,00 177207,75 412894057,50 309670543,13
55 3612 44 220525,20 165393,90 438034717,89 328526038,42
60 3728 48 204773,40 153580,05 458037141,12 343527855,84
65 3845 52 189021,60 141766,20 472350801,78 354263101,34
70 3961 56 173269,80 129952,35 480425174,46 360318880,85
75 4078 60 157518,00 118138,50 481709733,75 361282300,31
80 4194 64 141766,20 106324,65 475653954,24 356740465,68
85 4311 68 126014,40 94510,80 461707310,52 346280482,89
90 4427 72 110262,60 82696,95 439319277,18 329489457,89
95 4544 76 94510,80 70883,10 407939328,81 305954496,61
100 4660 80 78759,00 59069,25 367016940,00 275262705,00
Secara regresi, jika harga per liter minuman ringan ditambah dengan cukai, maka produksi minuman ringan akan mengalami penurunan, sedangkan penerimaan negara mengalami kenaikan sampai pada suatu titik optimal kemudian kembali mengalami penurunan.
Apabila pengenaan cukai hanya didasarkan pada pertimbangan penerimaan negara saja, maka tarif cukai sebesar 75 % (tabel 2b) akan memberikan penerimaan negara yang paling optimal pada Tahun Anggaran 2000 , yaitu sebesar Rp. 361,2 Milyar. Namun hal tersebut akan mengakibatkan penurunan produksi minuman ringan sebesar 60% yang dapat mengakibatkan pengurangan tenaga kerja. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan pengenaan cukai dengan mengkombinasikan segi penerimaan negara dan kelangsungan produksi.
Dengan tarif ad valorum sebesar 25 % akan memberikan penerimaan negara sebesar Rp.172 Milyar dengan penurunan produksi sebesar 20 %. Penerimaan yang sama diberikan dengan tarif spesifik sebesar Rp.725/Liter
Analisis di atas berdasarkan asumsi bahwa income per capita tetap. Namun demikian, berdasarkan analisis data statistik, pada tahun 1999, PDB tumbuh sekitar 2% dan tahun 2000 pertumbuhan PDB diperkirakan mencapai 3%, dengan demikian untuk dua tahun, perrtumbuhan PDB mencapai 5%. Pertumbuhan PDB ini akan mendorong pertumbuhan industri minuman ringan sebesar 6,75%.
Sehingga pengenaan cukai TA 2000 sebesar, misalnya, 25% dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% tersebut hanya akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar 13,68%, namun menghasilkan potensi penerimaan cukai berdasarkan nilai produksi dapat menjadi 6,75% lebih besar, yaitu sebesar Rp146,96 Milyar dan berdasarkan jumlah produksi sebesar Rp. 183,65 Milyar
Perhitungan tersebut juga berlaku untuk peramalan berdasarkan jumlah produksi, serta volume penurunan jumlah produksi dan kebutuhan tenaga kerja.
Tabel 2a: Peramalan Penerimaan Negara
Berdasarkan Nilai Produksi Tahun 2000
Tarif
(%) Nilai Produksi
Kena Cakai
Satu Tahiun
(000 Rp) Nilai produksi
Kena Cukai
9 Bulan
(000 Rp) Penerimaan
Satu Tahun
(000 Rp) Penerimaan
9 Bulan
(000 Rp)
0 917800554,09 688350415,56 0,00 0,00
5 880170731,29 660128048,46 44008536,56 33006402,42
10 842540908,57 631905681,43 84254090,86 63190568,14
15 804911085,86 603683314,39 120736662,88 90552497,16
20 767281263,14 575460947,36 153456252,63 115092189,47
25 729651440,43 547238580,32 182412860,11 136809645,08
30 692021617,72 519016213,29 207606485,31 155704863,99
35 654391795,00 490793846,25 229037128,25 171777846,19
40 616761972,29 462571479,22 246704788,92 185028591,69
45 579132149,57 434349112,18 260609467,31 195457100,48
50 541502326,86 406126745,15 270751163,43 203063372,57
55 503872504,15 377904378,11 277129877,28 207847407,96
60 466242681,43 349682011,07 279745608,86 209809206,64
65 428612858,72 321459644,04 278598358,17 208948768,63
70 390983036,00 293237277,00 273688125,20 205266093,90
75 353353213,29 265014909,97 265014909,97 198761182,48
80 315723390,58 236792542,93 252578712,46 189434034,35
85 278093567,86 208570175,90 236379532,68 177284649,51
90 240463745,15 180347808,86 216417370,63 162313027,97
95 202833922,43 152125441,83 192692226,31 144519169,73
100 165204099,72 123903074,79 165204099,72 123903074,79
Dengan menggunakan hitorical data (perhitungan time series analisys) nilai produksi selama periode tahun 1988-1997 diperoleh angka koofisien sebesar 1,0747 yang digunakan untuk memprediksi nilai produksi tahun 2000 yaitu sebesar Rp.917.800.554.090.
Dengan menggunakan instrumen tarif maka dapat dihitung nilai produksi setelah dikenakan cukai. Nilai produksi setelah dikenakan cukai dapat dihitung dari nilai produksi tahun 2000 sebelum dikenakan cukai, dikurangi angka elastisitas permintaan sebesar 0,82 yang dikalikan tarif dan nilai produksi tahun 2000 sebelum dikenakan cukai.
Penerimaan cukai dapat dihitung dengan cara mengalikan besarnya tarif cukai dengan nilai produksi setelah dikenakan cukai. Oleh karena tahun anggaran 2000 berlangsung 9 bulan yaitu dari bulan April s.d Desember 2000, maka prediksi penerimaan cukai hanya dihitung selama 9 bulan saja.
Untuk analisa prediksi penerimaan cukai, produksi minuman ringan tahun 2000 diprediksikan sama dengan produksi minuman ringan tahun 1997 (pertumbuhan ekonomi tahun 1999 adalah 2 % dan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2000 adalah 3%) dengan asumsi bahwa selama periode tahun 1998-1999 dianggap tidak ada kenaikan produksi minuman ringan bahkan produksi minuman ringan ada kecendrungan mengalami penurunan, sehingga produksi minuman ringan tahun 1997 digunakan sebagai acuan untuk memperhitungkan produksi minuman ringan tahun 2000.
Berdasarkan tabel diatas, optimalisasi penerimaan tercapai pada tingkat tarif sebesar 60%. Pada tingkat tarif tersebut terjadi penurunan produksi sebesar 48 %. Hal ini akan menimbulkan dampak negatif baik sosial maupun ekonomi yang tidak diharapkan. Dengan memperhitungkan aspek penerimaan, sosial dan ekonomi maka tarif ad valorum yang ideal sekitar 25% dengan penurunan produksi sekitar 20 %, akan memberikan penerimaan negara sebesar Rp. 136,8 milyar.
Prediksi penerimaan cukai diatas berdasarkan nilai produksi. Untuk menguji keabsahan dari analisa tersebut perlu dilakukan sensitivity analisys dengan menggunakan pengaruh pembebanan cukai terhadap penurunan produksi (dalam liter) untuk mendapatkan prediksi penerimaan cukai.
Peramalan penerimaan negara selengkapnya berdasarkan jumlah produksi untuk Tahun 2000 disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2b: Peramalan Penerimaan Negara Berdasarkan Jumlah Produksi
Tahun 2000
Tarif
(%) Harga
Pabrik
(Rp/ltr) %Penurunan
Produksi Jml Produksi
(000 liter)
satu tahun Jml Produksi
(000 Liter)
9 bulan Penerimaan Negara
Satu tahun
(000 Rp) Penerimaan
Negara
9 Bulan
(000 Rp)
0 2330 0 393795,00 295346,25 0,00 0,00
5 2447 4 378043,20 283532,40 46244134,44 34683100,83
10 2563 8 362291,40 271718,55 92855285,82 69641464,37
15 2680 12 346539,60 259904,70 139282928,73 104462196,55
20 2796 16 330787,80 248090,85 184976537,76 138732403,32
25 2913 20 315036,00 236277,00 229385587,50 172039190,63
30 3029 24 299284,20 224463,15 271959552,54 203969664,41
35 3146 28 283532,40 212649,30 312147907,47 234110930,60
40 3262 32 267780,60 200835,45 349400126,88 262050095,16
45 3379 36 252028,80 189021,60 383165685,36 287374264,02
50 3495 40 236277,00 177207,75 412894057,50 309670543,13
55 3612 44 220525,20 165393,90 438034717,89 328526038,42
60 3728 48 204773,40 153580,05 458037141,12 343527855,84
65 3845 52 189021,60 141766,20 472350801,78 354263101,34
70 3961 56 173269,80 129952,35 480425174,46 360318880,85
75 4078 60 157518,00 118138,50 481709733,75 361282300,31
80 4194 64 141766,20 106324,65 475653954,24 356740465,68
85 4311 68 126014,40 94510,80 461707310,52 346280482,89
90 4427 72 110262,60 82696,95 439319277,18 329489457,89
95 4544 76 94510,80 70883,10 407939328,81 305954496,61
100 4660 80 78759,00 59069,25 367016940,00 275262705,00
Secara regresi, jika harga per liter minuman ringan ditambah dengan cukai, maka produksi minuman ringan akan mengalami penurunan, sedangkan penerimaan negara mengalami kenaikan sampai pada suatu titik optimal kemudian kembali mengalami penurunan.
Apabila pengenaan cukai hanya didasarkan pada pertimbangan penerimaan negara saja, maka tarif cukai sebesar 75 % (tabel 2b) akan memberikan penerimaan negara yang paling optimal pada Tahun Anggaran 2000 , yaitu sebesar Rp. 361,2 Milyar. Namun hal tersebut akan mengakibatkan penurunan produksi minuman ringan sebesar 60% yang dapat mengakibatkan pengurangan tenaga kerja. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan pengenaan cukai dengan mengkombinasikan segi penerimaan negara dan kelangsungan produksi.
Dengan tarif ad valorum sebesar 25 % akan memberikan penerimaan negara sebesar Rp.172 Milyar dengan penurunan produksi sebesar 20 %. Penerimaan yang sama diberikan dengan tarif spesifik sebesar Rp.725/Liter
Analisis di atas berdasarkan asumsi bahwa income per capita tetap. Namun demikian, berdasarkan analisis data statistik, pada tahun 1999, PDB tumbuh sekitar 2% dan tahun 2000 pertumbuhan PDB diperkirakan mencapai 3%, dengan demikian untuk dua tahun, perrtumbuhan PDB mencapai 5%. Pertumbuhan PDB ini akan mendorong pertumbuhan industri minuman ringan sebesar 6,75%.
Sehingga pengenaan cukai TA 2000 sebesar, misalnya, 25% dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% tersebut hanya akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar 13,68%, namun menghasilkan potensi penerimaan cukai berdasarkan nilai produksi dapat menjadi 6,75% lebih besar, yaitu sebesar Rp146,96 Milyar dan berdasarkan jumlah produksi sebesar Rp. 183,65 Milyar
Perhitungan tersebut juga berlaku untuk peramalan berdasarkan jumlah produksi, serta volume penurunan jumlah produksi dan kebutuhan tenaga kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar